About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

8/28/2013

(Belum ada Judul) - First Love?


                Ada satu rahasia yang hanya diketahui oleh Bayu, Fauzi dan Dilla. Dimasa lalu, Dilla pernah mengungkapkan perasaannya pada Fauzi. Hanya saja waktu itu ia tak terlalu mengerti apa maksud ungkapan Dilla. Entahlah, sepertinya jiwa kekanak2annya belum sampai tuk menaruh logika dalam kesadaran. Masih teringat di kala itu ia dapati sebuah buku berjudul “Fadhilah Amal” plus setangkai bunga dalam kolong mejanya. “Bay, aku nemuin ini di mejaku, dari siapa ya?” ungkap Fauzi. Bayu sempat menoleh kearah meja seakan tak percaya dengan ucapan Fauzi, “Serius ya? Ciieee.. mungkin saja itu penggemarmu, hihihi” sambil menggelitik pinggang Fauzi. Awalnya Fauzi bingung mengenai arti kedua benda itu, karena memang, hari itu bertepatan ulang tahunnya. Bisa saja itu berupa hadiah biasa tanpa makna tertentu. Belakangan diketahui pemberian itu dari Dilla, dan ia begitu takut dengan perasaannya.



                Bayu dan Fauzi adalah teman sebangku sejak mereka SD. Persahabatan mereka begitu dekat, Bayu sangat mengenal Fauzi, begitu juga sebaliknya. Kedua insan itu tau betul kartun favorit masing2, warna kesukaan, karakter, hobi, bahkan kebiasaan baik dan buruk mereka. Hingga ikatan itu terputus oleh terpisahnya tempat dan keberadaan kelas keduanya. Meskipun di tahun ini mereka kedua dipertemukan kembali, Fauzi merasa eksistensi dirinya dan Bayu taklah lagi sama. Bayu seperti orang asing baginya, punya teman baru, kelompok baru, ditambah lagi diam2 ia sudah menyukai Dilla sejak lama. Maka lengkaplah sudah kesenjangannya, saat hubungan Dilla dan Bayu dipergunjingkan.

                Usia Fauzi saat itu berumur lima belas tahun dan Faradilla membuka pintu hati Fauzi lewat keluhurannya, juga untuk pertama kalinya seorang perempuan menyentuh jiwa kedewasaannya dengan jari jemarinya, mengeluarkan ruh keremajaannya dari kedudukan, menuntut Fauzi ke hari2 yang penuh warna. Ia mengajari Fauzi bagaimana memunculkan musim semi dalam kehidupan, melihat bunga2 tanpa menyaksikan kehadirannya.

                Dulunya, setiap pulang sekolah Fauzi selalu membuntuti Dilla bersepeda kerumahnya. Ia melakukannya agar bisa mengetahui tempat berteduh gadis remaja itu. Sesekali ia bertegur sapa dengannya bilapun sampai dirumah. Sosok bersahaja itu begitu anggun saat tersenyum. Layaknya sang surya memercikkan serpihan cahaya pada jiwa yang sepi. Sekarang hal itu takkan lagi terjadi, manakala Dilla pulang berjalan kaki, selalulah ada Bayu menjemputnya. Fauzi hanya mampu memandangnya dari kejauhan, meninggalkan rasa sunyi dalam dada pemuda itu.

                Sangatlah lucu memperhatikan Fauzi dalam kegundahan. Setiap kali ia mengingat gadis itu, seakan harinya dipenuhi irama musik melankolis, setelan “Menghapus Jejakmu” dari Peterpan menjadi favoritnya. Ia berharap mimpi2 dan kenangannya segera usai diderai hujan, terhapus bersama terbitnya sang pelangi.

                Harus diakui, perbandingan Bayu dan Fauzi sangatlah berbeda. Seperti langit dan bumi, Bayu langitnya, Fauzi buminya. Dalam karakter, pribadi Bayu sudah dewasa. Ia mengerti tentang perempuan, mampu memanjakannya, dan tau bagaimana menyukai. Begitu kata teman2nya. Sementara Fauzi, seringkali ia bicara cerita anime terbaru di kelas, tentang “Naruto”, “One Piece”, “Dragon Ball” dengan penuh gairah bersama kawannya. Ia terlihat masih labil, masih kekanak2an. Bayu juga keren dimata yang lain. Seseorang berparas tampan, penampilan modis, motornya keluaran terbaru, dan sering nraktir makan di kantin. Sedang Fauzi, baju dan celananya itu2 saja, pergi ke madrasah bersepeda, dan uang jajannya pas2an, bahkan, sampai dititipin bekal makan siang pula. Ditambah lagi, waktu itu teman2 Fauzi memiliki handphone pribadi semua, termasuk Bayu Dilla. Jangankan handphone baru, untuk berkirim sms saja Fauzi harus meminjam milik ayahnya. Jelas saja, gadis pujaannya itu lebih memilih Bayu yang juga anggota Band itu daripada pemuda biasa seperti Fauzi.

                Lantaran sakit hatinya itulah, Fauzi ingin memenjarakan rasanya untuk melupakan Dilla. Tapi apalah daya, sosok Dilla begitu mempesona di khayalnya. Setiap kali ia memejamkan mata, terbayanglah semangatnya yang membumbung tinggi manakala mengerjakan soal2 sulit di depan kelas. Saat ia tutupi telinga, berbisik di pikirannya lantunan ayat2 Al-Qur’an dari merdunya suaranya, pribadi Dilla baik, akhlaknya sungguh indah, “Laki2 mana yang tak suka dengannya…” pikir Fauzi. Ia begitu manis saat menghindari godaan siswa lain. Saat itu dengan konyolnya ia bertingkah seperti perempuan nakal dan menjijikkan, “Ihh, gatal sekali tenggorokanku, tadi pagi belum sikat gigi nih, heekkkkhh, cuuhhhhh!!” disusul dengan air ludah menyemprot keluar. Sehingga lunturlah kehendak siswa laki2 lainnya, dan Fauzi hanya tertawa menonton kepura-puraannya.

                Pernah suatu ketika Fauzi dihukum karena terlambat masuk kelas. Biasanya memang sering terlambat, tetapi hari itu ada yang istimewa dari keterlambatannya. Dikarenakan hari itu… Dilla juga datang terlambat. Entahlah, sepertinya satu2nya alasan penghibur Fauzi kala itu ialah nasib mereka sama. Melihat dirinya berada dengan sanksi yang sama dengan perempuan itu merupakan daya tarik tersendiri. Namun, Fauzi melihat raut wajah berbeda dari Dilla. Rupanya ia taklah biasa dikenai hukuman, bukan seperti Fauzi, berkali2, bahkan sudah tidak bisa dihitung dengan jari.

                Ia mendekati Dilla dengan perlahan, mencoba membantu menyelesaikan pekerjaannya, “Sini, biar aku saja yang memasukkan sampahnya..” ucap Fauzi.

                Jlebb!, “Ehhh!!!.. ” tersentak Fauzi heran, rupanya kakinya tersangkut dalam bak sampah yang diinjaknya waktu itu. “Hihihi… Makasih ya..” ia memandang Fauzi dengan penuh tawa. Ratapannya saat itu membuat segala kepahitan Fauzi sirna, rasanya segala rahasia di muka bumi ini muncul ke permukaan, menyampaikan seluruh berita pada jiwa tak berada itu bahwa ia masih punya kesempatan. Fauzi menyaksikan mekarnya bunga mawar melati melintas di kepalanya, sementara segala nyanyian kerinduan lalu lalang mengitari daun telinganya. Dilla dengan sweater merahnya hari itu tergambar dengan penuh misteri, jauh lebih indah daripada biasanya, sehingga keluarlah kata2 pemungkas dari pemuda itu dengan gagah berani, “Kamu cantik sekali, hari ini…”. Lalu, perempuan itu membalas dengan senyuman.

                Meski begitu, hari demi hari tetap saja ia lewati dengan kesakitan. Tersimbolkan hantu, berlalu tanpa jejak, menghilang dengan kabut kelabu. Hanya tertinggal kenangan yang penuh duka. Kala perempuan itu pernah berkata, “Kamu itu kekanak-kanakan..” pada Fauzi. Dalam pertumbuhan menuju dewasa, harus diakui hal yang paling kejam adalah perempuan selalu lebih dewasa dari lelaki seumurnya. Kedewasaan perempuan tak ada satupun laki-laki yang mampu menampungnya.

                Kenangan masa2 itu penuh suka dan duka, orang mungkin tidak percaya kisahnya, karena hanya lahir bersama jiwa2 remaja itu. Perasaan Fauzi bergilir ibarat pergantian musim, kadang musim semi, lalu musim gugur. Praharanya taklah cukup tuk diceritakan pada selembar kertas. Hingga kata2 itu begitu mengejutkan keluar dari mulutnya, sangatlah bodoh dan berani bagi pemuda seumuran Fauzi, “Tunggu aku enam sampai tujuh tahun lagi…, dan aku @!$#%!XXX%@)()()(+_+^^“. Terang saja, terlukiskan di wajah perempuan itu ekspresi kejutannya. Maka ia diam dan membisu. Hingga beberapa saat, lalu ia berkata, “Hah?”. Beruntunglah, ia tak mendengar kata2 terakhir Fauzi saat itu. Perempuan itu tetaplah baik di mata Fauzi, bahkan bertahun2 selanjutnya ia tetap baik, biarlah memorinya terbenam dalam relung ingatan terdalam.



*******SMILE - FLOWER********



Tidak ada komentar: