About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

3/02/2014

Potongan Cerita Fauzi - Bahkan awan tak seteduh tatapannya

                SMA, seingat Fauzi umurnya saat itu jelang 18 tahun. Bulan itu adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang selalu ditunggu-tunggu umat muslim. Bulan ketika Al-Qur’an dulu diturunkan untuk insan yang terbaik akhlaknya dan malam seribu bulan dihadirkan kepada orang-orang terpilih. Bulan dimana dosa-dosa manusia terampuni bila sungguh bertaubat, dan semua amalan dilipatgandakan nilainya. Maka semua manusia berlomba-lomba untuk mengejarnya, tak terabaikan pula diri Fauzi, ia menantikannya. Sungguh merindukannya..

                Sebuah anugerah atau cobaan, bulan itu.. cinta kembali hadir dan menyentuh selubung hati Fauzi. Cinta yang seperti cahaya, ditulis dengan tangan cahaya, terpatrikan diatas lembaran cahaya. Cahaya itu melenyapkan kabut memori Fauzi tentang keraguan hati. Tatkala banyak wanita yang dapat meminjam hati pria, Fauzi tidak semurah itu. Hanya sedikit yang memilikinya, ialah ibu dan keluarga terkasih kebanggaan Fauzi. Namun bulan itu.. seorang wanita merenggutnya. Membuat hidupnya, kesendiriannya, penuh dengan ingatan. Sebuah ingatan tentang janji yang terikat dan bahkan bila sekejap Fauzi berdiri, ia coba melakukannya sepenuh hati.

                Ramadhan, kira-kira akhir tahun 2009. Beberapa bulan setelah itu adalah akhir semester ganjil. Semester depan merupakan tantangan yang paling mendebarkan dikalangan siswa SMA. Ujian Nasional dan ujian tulis penentu masa depan bangku perkuliahan, SNMPTN. Sebelum akhir pekannya akan dipenuhi dengan ‘penganiayaan’, alias pengayaan belajar. Sebelum masa depannya akan dipertaruhkan dengan kerja keras dan do’a. Sebelum masa-masa itu, ia dan kawan-kawan rohisnya ingin menghabiskan akhir bulan Ramadhan itu dengan kegiatan yang asik dan penuh berkah. Tersebutlah “Pesantren Ramadhan Nasional”, momentum pertemuan Fauzi dengan wanita itu.

******
                 

                  Buka puasa bersama. Satu detik lalu, jantung dan hati Fauzi terbang tinggi. Ia mencoba bangun dari khayalnya. Tatkala didepannya muncul sosok wanita yang diidamkannya. Wanita itu membuat hati Fauzi meleleh. Ia layaknya surya yang menuntun bayang-bayang pepohonan. Menyinari kegelapan hati Fauzi tentang wanita zaman sekarang. Seakan tak percaya bila ada wanita seperti itu, dan benarlah pepatah lama, “dari mata turun ke hati”. Ia dengan jilbab syar’inya membekukan langkah kaki Fauzi. Dua insan dipertemukan untuk menemukan kebenaran tentang sudut lain dunia. Seseorang tak bisa berucap, namun wanita itu memahami. Ia membalas Fauzi dengan senyuman, sebentuk usapan kepada jiwa yang kosong, dan bahkan awan tak seteduh tatapannya saat itu.


                Dalam sunyi, Fauzi mencoba bersuara lirih, “Assalamu’alaikum..”. Lalu wanita itu dengan lembut membalasnya, “Wa’alaikumussalam, dari Banjarmasin ya?”. “eh, i..iya, dari Banjarmasin, kenapa?” ucap Fauzi kikuk. “Saya dari banjarbaru..” Lalu wanita itu pergi dengan tawanya yang manis bersama teman-temannya. Fauzi tak sempat mengucapkan beberapa patah kata lagi. Namun saat itu, jiwanya memahami arti dari frasa yang orang ucapkan selama ini, “lingkaran hati”. Sebuah siklus pertemuan rasa, bahkan tanpa harus mengungkapnya, ataupun mengenalnya. Fauzi tak tau bagaimana mengungkapkannya. Meskipun ia memahami rasa itu, ia takkan mampu menggapai maknanya dan selamanya akan samar terbungkus oleh kata dan takkan bisa tertera dengan pena. Fauzi mencoba menepis segala keraguannya, maka ia coba mencari informasi tentang wanita itu, nama lengkapnya, sekolahnya, dan dimana ia tinggal. Hingga cukuplah segala rasa penasaran Fauzi setelah mengetahui  dimana wanita itu berada. Sebuah SMA di kota Banjarbaru, yang terkenal dengan nuansa agamanya, asramanya, juga biayanya yang cukup tinggi. Dan betapa bahagianya ia saat mendapat info dari sahabat karib wanita itu, bahwa wanita itu.. masih jomblo.

*****
                Saat itu, keheningan berubah menjadi suasana menakjubkan. Disaat seluruh santri mencoba menunjukkan kemampuan diskusinya, wanita itu muncul dengan indahnya, mematahkan segala kesombongan santri lain. Dibalik keanggunannya, wanita itu sungguh cerdas. Ia dengan kemampuan bahasa Arabnya, tidak disangka membuat seluruh lelaki di auditorium takkan bisa memejamkan mata, sungguh memesona..  Fauzi tau dirinya bukanlah satu-satunya pria yang menyukai wanita itu. Maka benarlah kekhawatirannya kala mengetahui kawan karibnya sendiri juga menyimpan rasa terhadap wanita itu. Kawan yang juga ikut andil dalam pertemuan rohis se-indonesia itu. Maka dalam kesempatan itupun, pria yang akrab disapa Razi itu, mengeluarkan kemampuan diskusinya juga. Razi berdiskusi dengan wanita itu dengan penuh tawa, di hadapan seluruh penonton, dengan kemampuan bahasa arab yang mereka miliki.

                Razi, kawan sebangku Fauzi di kelas 2 SMA. Ia seorang siswa yang diakui Fauzi dalam hal pengetahuan agama. Meski dalam nilai pelajaran, ia kalah bersaing dengan Fauzi. Bila membahas persoalan agama, Fauzi begitu menghormatinya. Maka layaknya Ali ra, sahabat nabi yang mengalah memperjuangkan hati Fatimah, Fauzi pun demikian. Ia lebih memilih memendam rasa dan mempersilakan. Memilih untuk berdiri tegar, ketimbang memutus tali persahabatan. Terfikir oleh Fauzi saat itu, “Allah menjagaku rupanya..”.

                Sehingga berlalulah masa-masa itu, Razi dan wanita itu semakin dekat, sedang Fauzi kian berdiri di sudut maya. Mencoba terbangun dari mimpi buruknya.

*****
                Selang beberapa bulan, wanita itu menyapa Fauzi lewat pesan media sosial. Fauzi tersenyum sejenak, karena jauh dilubuk hatinya, masih terukir nama wanita itu. Ia menanyakan kabar Fauzi, bagaimana keadaannya, dan suasana sekolahnya yang mendekati ujian. Meski beberapa lama wanita itu menghilang keberadaannya, saat itu, Fauzi merasakan kehadirannya. Percakapan kedua insan itu kian memanjang, bahkan dalam dunia fatamorgana, pertemuan hati yang lama tak berjumpa akan selalu menyenangkan. Fauzi mencari cara untuk menanyakan hubungan wanita itu dengan Razi. Dan sirnalah kemelut jiwanya waktu wanita itu menuliskan, “Kami gak ada apa-apa, cuma temenan J..”

*****
                Hari itu, Fauzi takkan pernah melupakannya. Hari dimana kedua jiwa disatukan dalam ikatan janji. Fauzi dan wanita itu sama-sama diam menunggu yang lain untuk berbicara, namun bicara bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengerti. Bukan hanya kata-kata yang keluar dari bibir dan lidah yang bisa menyatukan nurani. Keheningan menerangi jiwa mereka, bersama tiupan daun yang mengalir lembut, membawa ungkapan kata terasa diujung mata. Fauzi memberanikan diri dan bertanya, “Kalau sudah lulus SMA, kamu mau melanjutkan kemana?”

               
Wanita itu menghadap ke langit, lalu ia bilang, “Aku tidak tau zi, selama ini kubiarkan hidupku mengalir seperti air, biarlah takdir membawa asa dan citaku dalam pilihan yang terbaik, kalau kamu kemana?”. Fauzi terdiam sejenak. Kata-kata yang diucapkan wanita itu, memenjarakan Fauzi ditengah masa lalu dan masa depan. Seperti sebuah kapal yang menempatkan jangkarnya di tengah lautan. Kata-kata itu membangunkan tidur keremajaan Fauzi, dan menempatkan posisinya kelak berada di panggung dunia yang penuh pilihan. Fauzi tau bahwa wanita itu punya banyak talenta, meski ragu, ia ingin membuat wanita itu tidak bias terhadap harapan. Fauzi bilang, “Jika seperti itu, kamu akan bimbang dengan cita-citamu, kamu harus memilih, seperti aku, aku punya keinginan untuk menjadi dokter”. Wanita itu tersenyum, “Begitukah? kalau gitu, aku juga mau jadi dokter, hihihi..” ucapnya lembut.  “Loh, kok bisa? cepet banget mutusinnya?” Fauzi menertawakan kepolosan wanita itu. Meski begitu polos, Fauzi menyukai wanita itu. Tak pernah sedikitpun ia menyombongkan diri di hadapan Fauzi. Untuk seseorang yang dipenuhi banyak talenta, Fauzi bukan apa-apa dibanding dirinya.

                Dua bulan berlalu, ujian Nasional begitu menegangkan, tak sedikitpun Fauzi bergeming dalam kerja kerasnya untuk mendapatkan hasil yang terbaik dengan jujur dan tawakkal kepada Allah. Lama tak terhubung, wanita itu mengabarkan berita dengan penuh gembira. Ia bilang kepada Fauzi, bahwa ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama untuk kuliah Kedokteran di salah satu universitas luar kota Banjarbaru. “Aku pasti menyusulmu..” ucap Fauzi yakin. Hari itu, Fauzi berjanji dengan dirinya bahwa ia harus bisa lulus SNMPTN, dan menggapai harapannya. Untuk menjadi dokter.

*****
                11 Mei, 2010. Fauzi menulis Pendidikan dokter, Universitas wanita itu. Pendidikan dokter, di sebuah Universitas Banjarbaru pilihan kedua, dan Kesehatan Masyarakat pilihan ketiga.

                30 Juni, 2010. Hari yang kejam untuk seorang pemimpi seperti Fauzi. Hari itu, ia harus menerima kenyataan bahwa harapannya sirna.

*****
                Bulan-bulan berlalu, Fauzi membuka mata dan melihat dunia. Ia telah terima sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sebuah harapan dalam setitik iman. Walau hanya sebuah harapan yang tak mungkin berdalih. Lembaran baru telah  ia pilih. Demi sebuah cinta ataukah cita, ia beranikan diri untuk beranjak dari kelamnya masa yang sirna. Telah ia dapati semua teman yang membimbingnya menuju cahaya. Untuk sebuah keteduhan hati, untuk bisa mengubur kedalaman emosi, Fauzi tak ingin kehilangan arah. Meski di sela waktu, kadang ia terpuruk jatuh. Beban itu kian membawanya terbang menuju dunia yang penuh rasa dan suasana. Semua tentang wanita itu, semua tentang Fauzi, kini tinggal sejauh mimpi.

                Kenangan itu, sebuah bentuk pertemuan. Kehampaan kadang berarti kebebasan. Lama Fauzi terbaring dalam kabut awan, terdiam dan tak sadar akan pergantian siang dan malam. Lalu mentari menariknya, membangkitkannya untuk tetap berjalan ke depan. Dan sang Pencipta, Yang Memberikan Pelita membuatnya menyanyi bersama hari, bermimpi dan berdo’a sepanjang malam. Keajaiban itu, teka-teki itu, telah membentuk Fauzi, juga mendewasakan hidupnya. Maka Fauzi tetap berdiri tegak, berjalan mantap menuju sebuah pilihan. Menyusuri tepian hidup dengan sandaran hati, Allah dan Rasul-Nya serta keluarganya.

*****

                2012, Fauzi berhasil menepati janjinya. Memberikan arti dalam hidupnya yang pernah terhempas dan terlepas. Meski di universitas berbeda dan generasi yang tak sama, Fauzi memenuhi janjinya.

Tidak ada komentar: