About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

8/28/2013

(Belum ada Judul) - Kita Teman kan?



            Pagi-pagi sekali, selepas makan bersama orang tua, Fauzi mengayuhkan sepedanya pergi sekolah. Perjalanan Fauzi memakan waktu 1/2 jam untuk sampai di MTsN Nurul Huda tempat Fauzi belajar. Lokasi madrasah itu sekitar 3 km dari rumahnya, agar bisa sampai kesana ada dua alternatif jalur yang bisa ditempuh. Pertama, jalur aman yang selalu diharapkan orang tua yakni jalan tembus belakang sekolah atau Kedua, jalan raya tetapi rawan kecelakaan. Khawatir akan anaknya, orang tua yang punya satu anak tentulah merekomendasikan pilihan pertama.

            Ada beberapa pertimbangan diantara kedua jalur tersebut. Menurut Fauzi jalan tembus belakang sekolah takkan cocok bila harus dilewati dikeberangkatannya, jaraknya jauh, menghabiskan waktu, ditambah lagi ia harus berjalan kaki saat berpijak pada tanah becek disitu. Walhasil, ia lebih memilih meluncur di jalan raya meski membuat orang tuanya khawatir. Sedang jalan belakang sekolah lebih ia sukai disaat kepulangannya. Namun, tak lupa disetiap keberangkatannya, ia selalu pamitan seraya berdo’a “Subhanalladzi sakhorolana hadza wa ma kunnalahu muqriniin wa inna ilaa rabbina lamunqolibuun” berharap Allah selalu menjaganya dan pulang dalam keberkahan-Nya. 

            Saat itu, jalan raya masih sepi pengendara. Sisi kiri dan kanan jalan ia saksikan pohon2 rindang seolah mengudara bersamanya, mentari pagi yang bersinar terang mengarahkan jalannya. Ia teringat pesan ibu padanya, “Nak, jika kamu sungguh2 menuntut ilmu dengan ikhlas, malaikat bahkan seluruh makhluk hidup dibumi ini akan mendo’akanmu, insya Allah ridho-Nya akan selalu bersamamu”.  Begitulah, rerumputan bergoyang seolah mengantarkan keberangkatannya dan udara kota Banjarmasin yang begitu sejuk kala itu sungguh membuat perjalanannya begitu nikmat. 

            Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Semester awal di tahun terakhir Fauzi berada di Tsanawiyah. Tahun depan, ia harus bersiap menghadapi ujian kelulusan memasuki SMA. Semangat dan nyanyian harapannya bergaung demi itu. Setiap tahunnya, di Madrasah ini ada pengelompokan kelas bagi para siswa. Yang unik di tahun ini karena ada kelas unggulan dimana setiap siswa dengan nilai rata2 tertinggi perkelasnya berkumpul disitu. Hal itu membuat siswa semangat belajar pada tahun lampau, meski memisahkan jiwa2 persahabatan dikelas sebelumnya. Ruang kelas itu berlabel III C, tersebut kelas unggulan, tempat Fauzi belajar kini. 

            Awal yang baru, Fauzi berada diatas awan, tiap kali bertemu teman baru seakan semua kemampuannya meluap keluar. Bakat dan hobinya yang terpendam ia tunjukkan dengan teman2nya. Fauzi duduk bersama Yusuf, remaja penuh hasrat dan semangat. Ia dan Yusuf ialah rival sejak kelas 2. Di bidang olahraga Yusuf dan Fauzi sering beradu kekuatan, satu hal yang tidak pernah dimenangkan Yusuf dari Fauzi ialah kecepatan berlarinya. Dalam adu fisik, harus diakui Yusuf lebih berotot, meskipun Fauzi lebih sering menang panco darinya. Entahlah, mungkin karena ada faktor X, atau genetik. Dalam nilai rapor, mereka berdua tidak jauh beda cemerlangnya. Hingga kepopuleran dikalangan wanita, pria berperawakan tinggi berkacamata cukup disukai. Sedang, pria berotot dengan motornya bertuliskan Ninja RR juga tidak kalah terkenal.  Mereka layaknya angin dan api, berhembus tuk meredam sang api, sementara panasnya justru semakin membara. 

            Diluar itu, Fauzi dan Yusuf ialah sahabat seperjuangan. Kenangan masa mudanya laksana syair puisi berirama kencang kadang tenang. Digambarkan oleh prosa yang begitu indah, membersit disetiap persaudaraan mereka. Ada satu kesamaan antara keduanya, ia dan Yusuf menyukai gadis yang sama di ruang III C itu. Nama gadis itu ialah Dilla, Faradilla. Entahlah, alasan apa yang membuat Fauzi menyukainya, hanya saja ia rasa gadis itu sedikit lebih cantik dari semua perempuan kelas III C. Mungkin karena sisi feminis dan kedewasaannya menuntun langkah Fauzi membuka pintu hatinya, atau juga, benih idealisnya dalam sisi ilmu pengetahuan hingga membuat embun kasih jiwa Fauzi menetes. Namun, ada hambatan bagi Fauzi dan Yusuf untuk menambatkan hatinya. Dilla sudah dimiliki Bayu, teman sebangku Fauzi di kelas 1.



            Didepan Fauzi dan Yusuf, tempat duduk Khoirul dan Fahri. Masih teringat jelas di memori Fauzi saat itu pertama kali Fahri mengulurkan tangannya sambil berkata, “Namaku Fahri, kita berteman?”. Ia melirik Fauzi sesaat seolah meragukan balasannya, tapi ia tepis khayalan itu sambil menyalami Fahri dan tersenyum, “Fauzi, ini Yusuf, oke, kita berteman”. Lalu ia memperkenalkan teman sebangkunya juga, Khoirul, dengan segala pujian2 dan ejekan padanya. Fahri punya hubungan keluarga dengan Dilla, katanya mereka saudara sepupu dari ibu. Jadi karena alasan itu persahabatan Fahri dengan Dilla cukup dekat, bahkan Dilla sering curhat padanya. Fahri orang yang ramah, paling mengerti dengan kondisi temannya, diantara mereka berempat ia cukup bijaksana. 

            Sementara Khoirul, orang yang lucu, tak banyak berkata, perawakan tubuhnya paling rendah dibanding yang lain. Ia lebih suka tenggelam dalam bisunya, bahkan tanpa memandang matanya, mereka bertiga bisa mendengarkan pikiran dan perasaannya yang menghadang. Fauzi dan Yusuf sering menjahili ia dengan menyembunyikan peci kesayangannya. Itu karena setiap harinya Choirul terus2an memakai peci, dan mereka takut rambutnya nanti botak, meski begitu ia selalu berucap, “Peci ini amanah ayahku, jadi akan terus kugunakan setiap hari! Grrrrr” lantaran kesal karena ulah keduanya. Waktu itu, Fauzi baru tau ternyata jarak antara rumah Khoirul dan ia tidak terlalu jauh. Hanya beberapa gang dari rumah Fauzi. Maka persahabatan keduanya semakin dekat. Pulang beriringan, hingga shalat jama’ah bersama. 

            Susunan tempat duduk kolom kedua ruang III C kala itu cukup mengasyikkan, baris depan diisi oleh Khoirul dan Fahri, dibelakangnya Fauzi serta Yusuf, menyusul baris ketiga diisi Dewi dan Shinta, Dilla dengan sahabat karibnya, Risda, di baris keempat. Fauzi dan Yusuf sering menoleh kebelakang sambil pura2 mencorat-coret mejanya Dewi, agar bisa menyaksikan pesona keindahan raut wajahnya Dilla saat tertawa. Meskipun, rencana murahan itu tidaklah bisa menipu dua orang perempuan yang satu geng juga dengan Dilla. “Heh, corat-coret meja orang! kalian pikir kami tidak tau kalo kalian itu diam2 menyukai Dilla, sudahlah… lupakan saja, Dilla sudah punya Bayu” ucap Dewi ketus. “Tau tuh! Bayu kan lebih keren, pengertian dengan perempuan, dibanding kalian, cihh.. kekanak2an,  kelaut aja loe!” tambah Shinta. Geram dengan ucapan keduanya, Yusuf membentak, “Huh! Biarin! Kami tak peduli, ya kan Zi?”. “Yo’i coy, selama janur kuning masih terbuka lebar, kami tidak akan menyerah!” omel Fauzi. 

            Begitulah, memori hari itu takkan pernah terkungkung dalam selubung pikiran Fauzi. Hari dimana ustadz2 mengajarkan pelajaran favorit Fauzi, Fiqih dan Al-Qur’an Hadits. Sementara ustadzah kesukaannya begitu cantik dan terlihat muda dikala mendorong motivasi siswa belajar Matematika. Kenangan empat sekawan yang tak pernah pudar, hingga persaingan memperebutkan hati seorang gadis dengan keluhuran jiwanya. Begitu lucu, memalukan, tapi unik. Mereka semua adalah jiwa-jiwa yang menemukan ketentraman manakala bersama. Laksana orang asing yang begitu riang saat bertemu dengan orang asing di negeri yang asing pula. Segala hati yang dipadukan dalam suasana kebersamaan, membasuh luka serta pahitnya kesedihan, akan selalu Fauzi kenang senantiasa.




Ruang III C- kolom 2 

Tidak ada komentar: