Pagi-pagi
sekali, selepas makan bersama orang tua, Fauzi mengayuhkan sepedanya pergi
sekolah. Perjalanan Fauzi memakan waktu 1/2 jam untuk sampai di MTsN Nurul Huda
tempat Fauzi belajar. Lokasi madrasah itu sekitar 3 km dari rumahnya, agar bisa
sampai kesana ada dua alternatif jalur yang bisa ditempuh. Pertama, jalur aman
yang selalu diharapkan orang tua yakni jalan tembus belakang sekolah atau
Kedua, jalan raya tetapi rawan kecelakaan. Khawatir akan anaknya, orang tua
yang punya satu anak tentulah merekomendasikan pilihan pertama.
Ada beberapa
pertimbangan diantara kedua jalur tersebut. Menurut Fauzi jalan tembus belakang
sekolah takkan cocok bila harus dilewati dikeberangkatannya, jaraknya jauh,
menghabiskan waktu, ditambah lagi ia harus berjalan kaki saat berpijak pada
tanah becek disitu. Walhasil, ia lebih memilih meluncur di jalan raya meski
membuat orang tuanya khawatir. Sedang jalan belakang sekolah lebih ia sukai
disaat kepulangannya. Namun, tak lupa disetiap keberangkatannya, ia selalu
pamitan seraya berdo’a “Subhanalladzi sakhorolana hadza wa ma kunnalahu
muqriniin wa inna ilaa rabbina lamunqolibuun” berharap Allah selalu menjaganya
dan pulang dalam keberkahan-Nya.
Saat itu,
jalan raya masih sepi pengendara. Sisi kiri dan kanan jalan ia saksikan pohon2
rindang seolah mengudara bersamanya, mentari pagi yang bersinar terang
mengarahkan jalannya. Ia teringat pesan ibu padanya, “Nak, jika kamu sungguh2
menuntut ilmu dengan ikhlas, malaikat bahkan seluruh makhluk hidup dibumi ini akan
mendo’akanmu, insya Allah ridho-Nya akan selalu bersamamu”. Begitulah, rerumputan bergoyang seolah
mengantarkan keberangkatannya dan udara kota Banjarmasin yang begitu sejuk kala
itu sungguh membuat perjalanannya begitu nikmat.
Hari ini
adalah hari pertama tahun ajaran baru. Semester awal di tahun terakhir Fauzi
berada di Tsanawiyah. Tahun depan, ia harus bersiap menghadapi ujian kelulusan memasuki
SMA. Semangat dan nyanyian harapannya bergaung demi itu. Setiap tahunnya, di
Madrasah ini ada pengelompokan kelas bagi para siswa. Yang unik di tahun ini
karena ada kelas unggulan dimana setiap siswa dengan nilai rata2 tertinggi
perkelasnya berkumpul disitu. Hal itu membuat siswa semangat belajar pada tahun
lampau, meski memisahkan jiwa2 persahabatan dikelas sebelumnya. Ruang kelas itu
berlabel III C, tersebut kelas unggulan, tempat Fauzi belajar kini.
Awal yang
baru, Fauzi berada diatas awan, tiap kali bertemu teman baru seakan semua
kemampuannya meluap keluar. Bakat dan hobinya yang terpendam ia tunjukkan
dengan teman2nya. Fauzi duduk bersama Yusuf, remaja penuh hasrat dan semangat.
Ia dan Yusuf ialah rival sejak kelas 2. Di bidang olahraga Yusuf dan Fauzi
sering beradu kekuatan, satu hal yang tidak pernah dimenangkan Yusuf dari Fauzi
ialah kecepatan berlarinya. Dalam adu fisik, harus diakui Yusuf lebih berotot,
meskipun Fauzi lebih sering menang panco darinya. Entahlah, mungkin karena ada
faktor X, atau genetik. Dalam nilai rapor, mereka berdua tidak jauh beda
cemerlangnya. Hingga kepopuleran dikalangan wanita, pria berperawakan tinggi
berkacamata cukup disukai. Sedang, pria berotot dengan motornya bertuliskan
Ninja RR juga tidak kalah terkenal. Mereka
layaknya angin dan api, berhembus tuk meredam sang api, sementara panasnya
justru semakin membara.
Diluar itu,
Fauzi dan Yusuf ialah sahabat seperjuangan. Kenangan masa mudanya laksana syair
puisi berirama kencang kadang tenang. Digambarkan oleh prosa yang begitu indah,
membersit disetiap persaudaraan mereka. Ada satu kesamaan antara keduanya, ia
dan Yusuf menyukai gadis yang sama di ruang III C itu. Nama gadis itu ialah
Dilla, Faradilla. Entahlah, alasan apa yang membuat Fauzi menyukainya, hanya
saja ia rasa gadis itu sedikit lebih cantik dari semua perempuan kelas III C. Mungkin
karena sisi feminis dan kedewasaannya menuntun langkah Fauzi membuka pintu
hatinya, atau juga, benih idealisnya dalam sisi ilmu pengetahuan hingga membuat
embun kasih jiwa Fauzi menetes. Namun, ada hambatan bagi Fauzi dan Yusuf untuk
menambatkan hatinya. Dilla sudah dimiliki Bayu, teman sebangku Fauzi di kelas
1.
Didepan
Fauzi dan Yusuf, tempat duduk Khoirul dan Fahri. Masih teringat jelas di memori
Fauzi saat itu pertama kali Fahri mengulurkan tangannya sambil berkata, “Namaku
Fahri, kita berteman?”. Ia melirik Fauzi sesaat seolah meragukan balasannya,
tapi ia tepis khayalan itu sambil menyalami Fahri dan tersenyum, “Fauzi, ini
Yusuf, oke, kita berteman”. Lalu ia memperkenalkan teman sebangkunya juga, Khoirul,
dengan segala pujian2 dan ejekan padanya. Fahri punya hubungan keluarga dengan
Dilla, katanya mereka saudara sepupu dari ibu. Jadi karena alasan itu
persahabatan Fahri dengan Dilla cukup dekat, bahkan Dilla sering curhat padanya.
Fahri orang yang ramah, paling mengerti dengan kondisi temannya, diantara mereka
berempat ia cukup bijaksana.
Sementara
Khoirul, orang yang lucu, tak banyak berkata, perawakan tubuhnya paling rendah
dibanding yang lain. Ia lebih suka tenggelam dalam bisunya, bahkan tanpa
memandang matanya, mereka bertiga bisa mendengarkan pikiran dan perasaannya
yang menghadang. Fauzi dan Yusuf sering menjahili ia dengan menyembunyikan peci
kesayangannya. Itu karena setiap harinya Choirul terus2an memakai peci, dan mereka
takut rambutnya nanti botak, meski begitu ia selalu berucap, “Peci ini amanah
ayahku, jadi akan terus kugunakan setiap hari! Grrrrr” lantaran kesal karena
ulah keduanya. Waktu itu, Fauzi baru tau ternyata jarak antara rumah Khoirul
dan ia tidak terlalu jauh. Hanya beberapa gang dari rumah Fauzi. Maka
persahabatan keduanya semakin dekat. Pulang beriringan, hingga shalat jama’ah
bersama.
Susunan
tempat duduk kolom kedua ruang III C kala itu cukup mengasyikkan, baris depan
diisi oleh Khoirul dan Fahri, dibelakangnya Fauzi serta Yusuf, menyusul baris
ketiga diisi Dewi dan Shinta, Dilla dengan sahabat karibnya, Risda, di baris
keempat. Fauzi dan Yusuf sering menoleh kebelakang sambil pura2 mencorat-coret
mejanya Dewi, agar bisa menyaksikan pesona keindahan raut wajahnya Dilla saat
tertawa. Meskipun, rencana murahan itu tidaklah bisa menipu dua orang perempuan
yang satu geng juga dengan Dilla. “Heh, corat-coret meja orang! kalian pikir kami tidak tau kalo kalian
itu diam2 menyukai Dilla, sudahlah… lupakan saja, Dilla sudah punya Bayu” ucap
Dewi ketus. “Tau tuh! Bayu kan lebih keren, pengertian dengan perempuan,
dibanding kalian, cihh.. kekanak2an,
kelaut aja loe!” tambah Shinta. Geram dengan ucapan keduanya, Yusuf
membentak, “Huh! Biarin! Kami tak peduli, ya kan Zi?”. “Yo’i coy, selama janur
kuning masih terbuka lebar, kami tidak akan menyerah!” omel Fauzi.
Begitulah,
memori hari itu takkan pernah terkungkung dalam selubung pikiran Fauzi. Hari
dimana ustadz2 mengajarkan pelajaran favorit Fauzi, Fiqih dan Al-Qur’an Hadits.
Sementara ustadzah kesukaannya begitu cantik dan terlihat muda dikala mendorong
motivasi siswa belajar Matematika. Kenangan empat sekawan yang tak pernah
pudar, hingga persaingan memperebutkan hati seorang gadis dengan keluhuran
jiwanya. Begitu lucu, memalukan, tapi unik. Mereka semua adalah jiwa-jiwa yang
menemukan ketentraman manakala bersama. Laksana orang asing yang begitu riang
saat bertemu dengan orang asing di negeri yang asing pula. Segala hati yang
dipadukan dalam suasana kebersamaan, membasuh luka serta pahitnya kesedihan,
akan selalu Fauzi kenang senantiasa.
Ruang III C- kolom 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar