2006. Sore
itu, duduk seorang anak di pelataran belakang rumahnya, memandangi ladang sawah
yang masih kosong. Belum banyak rumah, tanpa ada kos2an, juga perluasan jalan,
hanya terlihat begitu banyak pesona teratai yang menggenangi perairan. Ia
sering menghabiskan waktu sore disana, bersama dengan kucing liar yang sering
mampir kerumahnya. Menimbang2 dirinya sambil memimpikan tahun2 terakhir nanti.
Melihat pohon kelapa tua yang tinggi menahan angin, bumi berselimutkan padi
kekuningan, sedang matahari tenggelam menarik bayang2 rumput yang bergoyang
dalam semilir awan. Nama anak itu Fauzi, Ahmad Fauzi.
Tahun itu…
Usianya masih 14 tahun, lagu Peterpan masih populer waktu itu, masih sering
terdengar di channel radio karya mereka yang berjudul “Menghapus Jejakmu”. DutaMall
di Banjarmasin selesai di resmikan, dan studio 21 ramai pengunjung, Novel dan
Film “Ayat2 Cinta” karangan Habiburrahman El-Shirazi hangat dibicarakan. Tahun
itu, kemenangan Itali terhadap Prancis kala piala dunia belum terlupakan, konflik
AS-Iran juga AS-Irak sedang boomingnya di stasiun TV, kemelut terorisme ramai
dibicarakan, Arab Spring mulai terpicu olehnya. Tahun itu juga, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono baru menikmati masa2 awal kepemimpinannya di Indonesia. Masih
tahun itu, komik “Naruto” menduduki peringkat atas, jajaran manga terfavorit
skala global, mengalahkan “One Piece” yang lebih dulu merangkaikan kisahnya. Tetap
saja ada anak yang menyimpan koleksi Doraemon di mejanya, seakan tak ingin
menghapus jejak2 masa kecilnya. Dan tahun itu, awal ajaran baru di semester
awal Sekolah Menengah Pertama, ini adalah tahun terakhir Fauzi berada di Madrasah
Tsanawiyah, semester depan ia akan menghadapi ujian Nasional, sungguh merupakan
misteri dikala ia memikirkan kemana langkahnya nanti ketika lulus. Tahun itu,
dan tahun itu….
Ayah Fauzi,
Pak Zaini dan Ibu Fauzi, Siti Zuraidha sering tak ada dirumah. Ayahnya pulang
dari kantor bertugas mengantarkan Ibunya ngisi tausiyah agama di majelis ibu2.
Maklum, saat itu Fauzi masih dilarang mengendarai motor, jadi semua kegiatan
antar jemput ayahnya yang melakukan. Ayah Fauzi bekerja di kantor Departemen
Agama, lulusan S2 Manajemen Dakwah di IAIN, sementara sang ibu ialah PNS di
salah satu Taman Kanak2, jebolan Fak. Tarbiyah IAIN juga.
Konon
katanya, pertemuan kedua insan ini sangatlah dramatis, bahkan romansa cinta
keduanya mengalahkan perjuangan Romeo dan Juliet tuk mencari pasangan
sejatinya, mematahkan kepahitan jalinan kisah Siti Nurbaya, melesat lebih cepat
dari keindahan Ayat2 Cinta. Sehingga, saat Fauzi terlahir ke dunia,
tergantikanlah 40 ekor kambing kurban demi anugerah Allah yg dihadiahkan tuk
keduanya. Keluarga mereka hanya bertiga, Fauzi, ayah dan ibunya. Dulu, Fauzi
punya adik, mungkin tahun itu, sudah menginjak 4 SD, tapi belum sempat mereka
bicara, adiknya telah tiada.
Hidup dengan
kesepian, jiwa anak itu laksana bunga mawar yang dihembuskan angin bila sang
fajar tiba. Ia bergetar dikala tak mendengar apapun kecuali dengung lebah madu
membawa sarinya. Cukup manis bila ada seseorang di sampingnya, yang kan
mengangkatnya ke atas awan mimpi, dan menaburkan serbuk cahaya dalam sepinya. Namun
alasan itu, tidak membuatnya gundah gulana, apalagi menjerumuskan ia dalam
gelapnya kebebasan remaja.
Ia tahu
tugas kedua orang tuanya begitu mulia. Membina umat, sungguh pelita hakiki yang
suci. Sudah terlalu banyak kasih sayang pemberian mereka, hanya jiwa Fauzi yang
bisa memahami arti kesendirian itu, ia hidup dan tumbuh bersamanya. Suatu
sensasi tak terlihat oleh mata orang yang memandang. Maka jiwanya tetap tenang,
tetap diam bersama dengan aliran air yang membasahi ladang sawah sore itu..
Setiap orang
pasti teringat masa lalunya, dan mencoba menggali kembali hari2 itu di lembah
kenangan, terkadang ingin mengubah jalan ceritanya, berharap ada sesuatu yang
lebih baik tergantikan. Kadang juga, berkhayal masa2 indah dan merangkaikannya dalam
sebuah kisah baru. Ini adalah memori Fauzi 6 tahun silam, sebuah essay
kehidupan yang masih tersisa dan kini hanya tinggal kenangan. Essay tentang seorang
remaja yang penuh dengan mimpi, ambisi, dan harapan, rintihan hatinya tentang
cinta, pelangi persaudaraan, hingga pahitnya kegagalan. Dimulai dari tahun itu,
warna-warni kehidupan Fauzi yang penuh perjuangan.
Sore hari - belakang rumah (2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar