Ada
satu rahasia yang hanya diketahui oleh Bayu, Fauzi dan Dilla. Dimasa lalu,
Dilla pernah mengungkapkan perasaannya pada Fauzi. Hanya saja waktu itu ia tak
terlalu mengerti apa maksud ungkapan Dilla. Entahlah, sepertinya jiwa
kekanak2annya belum sampai tuk menaruh logika dalam kesadaran. Masih teringat
di kala itu ia dapati sebuah buku berjudul “Fadhilah Amal” plus setangkai bunga
dalam kolong mejanya. “Bay, aku nemuin ini di mejaku, dari siapa ya?” ungkap
Fauzi. Bayu sempat menoleh kearah meja seakan tak percaya dengan ucapan Fauzi,
“Serius ya? Ciieee.. mungkin saja itu penggemarmu, hihihi” sambil menggelitik
pinggang Fauzi. Awalnya Fauzi bingung mengenai arti kedua benda itu, karena
memang, hari itu bertepatan ulang tahunnya. Bisa saja itu berupa hadiah biasa
tanpa makna tertentu. Belakangan diketahui pemberian itu dari Dilla, dan ia
begitu takut dengan perasaannya.
Bayu
dan Fauzi adalah teman sebangku sejak mereka SD. Persahabatan mereka begitu
dekat, Bayu sangat mengenal Fauzi, begitu juga sebaliknya. Kedua insan itu tau
betul kartun favorit masing2, warna kesukaan, karakter, hobi, bahkan kebiasaan
baik dan buruk mereka. Hingga ikatan itu terputus oleh terpisahnya tempat dan
keberadaan kelas keduanya. Meskipun di tahun ini mereka kedua dipertemukan
kembali, Fauzi merasa eksistensi dirinya dan Bayu taklah lagi sama. Bayu
seperti orang asing baginya, punya teman baru, kelompok baru, ditambah lagi
diam2 ia sudah menyukai Dilla sejak lama. Maka lengkaplah sudah kesenjangannya,
saat hubungan Dilla dan Bayu dipergunjingkan.
Usia
Fauzi saat itu berumur lima belas tahun dan Faradilla membuka pintu hati Fauzi
lewat keluhurannya, juga untuk pertama kalinya seorang perempuan menyentuh jiwa
kedewasaannya dengan jari jemarinya, mengeluarkan ruh keremajaannya dari
kedudukan, menuntut Fauzi ke hari2 yang penuh warna. Ia mengajari Fauzi
bagaimana memunculkan musim semi dalam kehidupan, melihat bunga2 tanpa
menyaksikan kehadirannya.
Dulunya,
setiap pulang sekolah Fauzi selalu membuntuti Dilla bersepeda kerumahnya. Ia
melakukannya agar bisa mengetahui tempat berteduh gadis remaja itu. Sesekali ia
bertegur sapa dengannya bilapun sampai dirumah. Sosok bersahaja itu begitu
anggun saat tersenyum. Layaknya sang surya memercikkan serpihan cahaya pada
jiwa yang sepi. Sekarang hal itu takkan lagi terjadi, manakala Dilla pulang
berjalan kaki, selalulah ada Bayu menjemputnya. Fauzi hanya mampu memandangnya
dari kejauhan, meninggalkan rasa sunyi dalam dada pemuda itu.
Sangatlah
lucu memperhatikan Fauzi dalam kegundahan. Setiap kali ia mengingat gadis itu, seakan
harinya dipenuhi irama musik melankolis, setelan “Menghapus Jejakmu” dari
Peterpan menjadi favoritnya. Ia berharap mimpi2 dan kenangannya segera usai
diderai hujan, terhapus bersama terbitnya sang pelangi.
Harus
diakui, perbandingan Bayu dan Fauzi sangatlah berbeda. Seperti langit dan bumi,
Bayu langitnya, Fauzi buminya. Dalam karakter, pribadi Bayu sudah dewasa. Ia
mengerti tentang perempuan, mampu memanjakannya, dan tau bagaimana menyukai.
Begitu kata teman2nya. Sementara Fauzi, seringkali ia bicara cerita anime
terbaru di kelas, tentang “Naruto”, “One Piece”, “Dragon Ball” dengan penuh
gairah bersama kawannya. Ia terlihat masih labil, masih kekanak2an. Bayu juga
keren dimata yang lain. Seseorang berparas tampan, penampilan modis, motornya
keluaran terbaru, dan sering nraktir makan di kantin. Sedang Fauzi, baju dan
celananya itu2 saja, pergi ke madrasah bersepeda, dan uang jajannya pas2an,
bahkan, sampai dititipin bekal makan siang pula. Ditambah lagi, waktu itu
teman2 Fauzi memiliki handphone pribadi semua, termasuk Bayu Dilla. Jangankan
handphone baru, untuk berkirim sms saja Fauzi harus meminjam milik ayahnya.
Jelas saja, gadis pujaannya itu lebih memilih Bayu yang juga anggota Band itu
daripada pemuda biasa seperti Fauzi.
Lantaran
sakit hatinya itulah, Fauzi ingin memenjarakan rasanya untuk melupakan Dilla. Tapi
apalah daya, sosok Dilla begitu mempesona di khayalnya. Setiap kali ia memejamkan
mata, terbayanglah semangatnya yang membumbung tinggi manakala mengerjakan
soal2 sulit di depan kelas. Saat ia tutupi telinga, berbisik di pikirannya
lantunan ayat2 Al-Qur’an dari merdunya suaranya, pribadi Dilla baik, akhlaknya
sungguh indah, “Laki2 mana yang tak suka dengannya…” pikir Fauzi. Ia begitu
manis saat menghindari godaan siswa lain. Saat itu dengan konyolnya ia
bertingkah seperti perempuan nakal dan menjijikkan, “Ihh, gatal sekali
tenggorokanku, tadi pagi belum sikat gigi nih, heekkkkhh, cuuhhhhh!!” disusul
dengan air ludah menyemprot keluar. Sehingga lunturlah kehendak siswa laki2
lainnya, dan Fauzi hanya tertawa menonton kepura-puraannya.
Pernah
suatu ketika Fauzi dihukum karena terlambat masuk kelas. Biasanya memang sering
terlambat, tetapi hari itu ada yang istimewa dari keterlambatannya. Dikarenakan
hari itu… Dilla juga datang terlambat. Entahlah, sepertinya satu2nya alasan penghibur
Fauzi kala itu ialah nasib mereka sama. Melihat dirinya berada dengan sanksi
yang sama dengan perempuan itu merupakan daya tarik tersendiri. Namun, Fauzi
melihat raut wajah berbeda dari Dilla. Rupanya ia taklah biasa dikenai hukuman,
bukan seperti Fauzi, berkali2, bahkan sudah tidak bisa dihitung dengan jari.
Ia
mendekati Dilla dengan perlahan, mencoba membantu menyelesaikan pekerjaannya,
“Sini, biar aku saja yang memasukkan sampahnya..” ucap Fauzi.
Jlebb!,
“Ehhh!!!.. ” tersentak Fauzi heran, rupanya kakinya tersangkut dalam bak sampah
yang diinjaknya waktu itu. “Hihihi… Makasih ya..” ia memandang Fauzi dengan
penuh tawa. Ratapannya saat itu membuat segala kepahitan Fauzi sirna, rasanya
segala rahasia di muka bumi ini muncul ke permukaan, menyampaikan seluruh
berita pada jiwa tak berada itu bahwa ia masih punya kesempatan. Fauzi
menyaksikan mekarnya bunga mawar melati melintas di kepalanya, sementara segala
nyanyian kerinduan lalu lalang mengitari daun telinganya. Dilla dengan sweater
merahnya hari itu tergambar dengan penuh misteri, jauh lebih indah daripada
biasanya, sehingga keluarlah kata2 pemungkas dari pemuda itu dengan gagah
berani, “Kamu cantik sekali, hari ini…”. Lalu, perempuan itu membalas dengan
senyuman.
Meski
begitu, hari demi hari tetap saja ia lewati dengan kesakitan. Tersimbolkan
hantu, berlalu tanpa jejak, menghilang dengan kabut kelabu. Hanya tertinggal
kenangan yang penuh duka. Kala perempuan itu pernah berkata, “Kamu itu
kekanak-kanakan..” pada Fauzi. Dalam pertumbuhan menuju dewasa, harus diakui
hal yang paling kejam adalah perempuan selalu lebih dewasa dari lelaki
seumurnya. Kedewasaan perempuan tak ada satupun laki-laki yang mampu
menampungnya.
Kenangan
masa2 itu penuh suka dan duka, orang mungkin tidak percaya kisahnya, karena
hanya lahir bersama jiwa2 remaja itu. Perasaan Fauzi bergilir ibarat pergantian
musim, kadang musim semi, lalu musim gugur. Praharanya taklah cukup tuk
diceritakan pada selembar kertas. Hingga kata2 itu begitu mengejutkan keluar
dari mulutnya, sangatlah bodoh dan berani bagi pemuda seumuran Fauzi, “Tunggu
aku enam sampai tujuh tahun lagi…, dan aku @!$#%!XXX%@)()()(+_+^^“. Terang
saja, terlukiskan di wajah perempuan itu ekspresi kejutannya. Maka ia diam dan
membisu. Hingga beberapa saat, lalu ia berkata, “Hah?”. Beruntunglah, ia tak
mendengar kata2 terakhir Fauzi saat itu. Perempuan itu tetaplah baik di mata
Fauzi, bahkan bertahun2 selanjutnya ia tetap baik, biarlah memorinya terbenam
dalam relung ingatan terdalam.
*******SMILE -
FLOWER********