About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

8/28/2013

(Belum ada Judul) - First Love?


                Ada satu rahasia yang hanya diketahui oleh Bayu, Fauzi dan Dilla. Dimasa lalu, Dilla pernah mengungkapkan perasaannya pada Fauzi. Hanya saja waktu itu ia tak terlalu mengerti apa maksud ungkapan Dilla. Entahlah, sepertinya jiwa kekanak2annya belum sampai tuk menaruh logika dalam kesadaran. Masih teringat di kala itu ia dapati sebuah buku berjudul “Fadhilah Amal” plus setangkai bunga dalam kolong mejanya. “Bay, aku nemuin ini di mejaku, dari siapa ya?” ungkap Fauzi. Bayu sempat menoleh kearah meja seakan tak percaya dengan ucapan Fauzi, “Serius ya? Ciieee.. mungkin saja itu penggemarmu, hihihi” sambil menggelitik pinggang Fauzi. Awalnya Fauzi bingung mengenai arti kedua benda itu, karena memang, hari itu bertepatan ulang tahunnya. Bisa saja itu berupa hadiah biasa tanpa makna tertentu. Belakangan diketahui pemberian itu dari Dilla, dan ia begitu takut dengan perasaannya.



                Bayu dan Fauzi adalah teman sebangku sejak mereka SD. Persahabatan mereka begitu dekat, Bayu sangat mengenal Fauzi, begitu juga sebaliknya. Kedua insan itu tau betul kartun favorit masing2, warna kesukaan, karakter, hobi, bahkan kebiasaan baik dan buruk mereka. Hingga ikatan itu terputus oleh terpisahnya tempat dan keberadaan kelas keduanya. Meskipun di tahun ini mereka kedua dipertemukan kembali, Fauzi merasa eksistensi dirinya dan Bayu taklah lagi sama. Bayu seperti orang asing baginya, punya teman baru, kelompok baru, ditambah lagi diam2 ia sudah menyukai Dilla sejak lama. Maka lengkaplah sudah kesenjangannya, saat hubungan Dilla dan Bayu dipergunjingkan.

                Usia Fauzi saat itu berumur lima belas tahun dan Faradilla membuka pintu hati Fauzi lewat keluhurannya, juga untuk pertama kalinya seorang perempuan menyentuh jiwa kedewasaannya dengan jari jemarinya, mengeluarkan ruh keremajaannya dari kedudukan, menuntut Fauzi ke hari2 yang penuh warna. Ia mengajari Fauzi bagaimana memunculkan musim semi dalam kehidupan, melihat bunga2 tanpa menyaksikan kehadirannya.

                Dulunya, setiap pulang sekolah Fauzi selalu membuntuti Dilla bersepeda kerumahnya. Ia melakukannya agar bisa mengetahui tempat berteduh gadis remaja itu. Sesekali ia bertegur sapa dengannya bilapun sampai dirumah. Sosok bersahaja itu begitu anggun saat tersenyum. Layaknya sang surya memercikkan serpihan cahaya pada jiwa yang sepi. Sekarang hal itu takkan lagi terjadi, manakala Dilla pulang berjalan kaki, selalulah ada Bayu menjemputnya. Fauzi hanya mampu memandangnya dari kejauhan, meninggalkan rasa sunyi dalam dada pemuda itu.

                Sangatlah lucu memperhatikan Fauzi dalam kegundahan. Setiap kali ia mengingat gadis itu, seakan harinya dipenuhi irama musik melankolis, setelan “Menghapus Jejakmu” dari Peterpan menjadi favoritnya. Ia berharap mimpi2 dan kenangannya segera usai diderai hujan, terhapus bersama terbitnya sang pelangi.

                Harus diakui, perbandingan Bayu dan Fauzi sangatlah berbeda. Seperti langit dan bumi, Bayu langitnya, Fauzi buminya. Dalam karakter, pribadi Bayu sudah dewasa. Ia mengerti tentang perempuan, mampu memanjakannya, dan tau bagaimana menyukai. Begitu kata teman2nya. Sementara Fauzi, seringkali ia bicara cerita anime terbaru di kelas, tentang “Naruto”, “One Piece”, “Dragon Ball” dengan penuh gairah bersama kawannya. Ia terlihat masih labil, masih kekanak2an. Bayu juga keren dimata yang lain. Seseorang berparas tampan, penampilan modis, motornya keluaran terbaru, dan sering nraktir makan di kantin. Sedang Fauzi, baju dan celananya itu2 saja, pergi ke madrasah bersepeda, dan uang jajannya pas2an, bahkan, sampai dititipin bekal makan siang pula. Ditambah lagi, waktu itu teman2 Fauzi memiliki handphone pribadi semua, termasuk Bayu Dilla. Jangankan handphone baru, untuk berkirim sms saja Fauzi harus meminjam milik ayahnya. Jelas saja, gadis pujaannya itu lebih memilih Bayu yang juga anggota Band itu daripada pemuda biasa seperti Fauzi.

                Lantaran sakit hatinya itulah, Fauzi ingin memenjarakan rasanya untuk melupakan Dilla. Tapi apalah daya, sosok Dilla begitu mempesona di khayalnya. Setiap kali ia memejamkan mata, terbayanglah semangatnya yang membumbung tinggi manakala mengerjakan soal2 sulit di depan kelas. Saat ia tutupi telinga, berbisik di pikirannya lantunan ayat2 Al-Qur’an dari merdunya suaranya, pribadi Dilla baik, akhlaknya sungguh indah, “Laki2 mana yang tak suka dengannya…” pikir Fauzi. Ia begitu manis saat menghindari godaan siswa lain. Saat itu dengan konyolnya ia bertingkah seperti perempuan nakal dan menjijikkan, “Ihh, gatal sekali tenggorokanku, tadi pagi belum sikat gigi nih, heekkkkhh, cuuhhhhh!!” disusul dengan air ludah menyemprot keluar. Sehingga lunturlah kehendak siswa laki2 lainnya, dan Fauzi hanya tertawa menonton kepura-puraannya.

                Pernah suatu ketika Fauzi dihukum karena terlambat masuk kelas. Biasanya memang sering terlambat, tetapi hari itu ada yang istimewa dari keterlambatannya. Dikarenakan hari itu… Dilla juga datang terlambat. Entahlah, sepertinya satu2nya alasan penghibur Fauzi kala itu ialah nasib mereka sama. Melihat dirinya berada dengan sanksi yang sama dengan perempuan itu merupakan daya tarik tersendiri. Namun, Fauzi melihat raut wajah berbeda dari Dilla. Rupanya ia taklah biasa dikenai hukuman, bukan seperti Fauzi, berkali2, bahkan sudah tidak bisa dihitung dengan jari.

                Ia mendekati Dilla dengan perlahan, mencoba membantu menyelesaikan pekerjaannya, “Sini, biar aku saja yang memasukkan sampahnya..” ucap Fauzi.

                Jlebb!, “Ehhh!!!.. ” tersentak Fauzi heran, rupanya kakinya tersangkut dalam bak sampah yang diinjaknya waktu itu. “Hihihi… Makasih ya..” ia memandang Fauzi dengan penuh tawa. Ratapannya saat itu membuat segala kepahitan Fauzi sirna, rasanya segala rahasia di muka bumi ini muncul ke permukaan, menyampaikan seluruh berita pada jiwa tak berada itu bahwa ia masih punya kesempatan. Fauzi menyaksikan mekarnya bunga mawar melati melintas di kepalanya, sementara segala nyanyian kerinduan lalu lalang mengitari daun telinganya. Dilla dengan sweater merahnya hari itu tergambar dengan penuh misteri, jauh lebih indah daripada biasanya, sehingga keluarlah kata2 pemungkas dari pemuda itu dengan gagah berani, “Kamu cantik sekali, hari ini…”. Lalu, perempuan itu membalas dengan senyuman.

                Meski begitu, hari demi hari tetap saja ia lewati dengan kesakitan. Tersimbolkan hantu, berlalu tanpa jejak, menghilang dengan kabut kelabu. Hanya tertinggal kenangan yang penuh duka. Kala perempuan itu pernah berkata, “Kamu itu kekanak-kanakan..” pada Fauzi. Dalam pertumbuhan menuju dewasa, harus diakui hal yang paling kejam adalah perempuan selalu lebih dewasa dari lelaki seumurnya. Kedewasaan perempuan tak ada satupun laki-laki yang mampu menampungnya.

                Kenangan masa2 itu penuh suka dan duka, orang mungkin tidak percaya kisahnya, karena hanya lahir bersama jiwa2 remaja itu. Perasaan Fauzi bergilir ibarat pergantian musim, kadang musim semi, lalu musim gugur. Praharanya taklah cukup tuk diceritakan pada selembar kertas. Hingga kata2 itu begitu mengejutkan keluar dari mulutnya, sangatlah bodoh dan berani bagi pemuda seumuran Fauzi, “Tunggu aku enam sampai tujuh tahun lagi…, dan aku @!$#%!XXX%@)()()(+_+^^“. Terang saja, terlukiskan di wajah perempuan itu ekspresi kejutannya. Maka ia diam dan membisu. Hingga beberapa saat, lalu ia berkata, “Hah?”. Beruntunglah, ia tak mendengar kata2 terakhir Fauzi saat itu. Perempuan itu tetaplah baik di mata Fauzi, bahkan bertahun2 selanjutnya ia tetap baik, biarlah memorinya terbenam dalam relung ingatan terdalam.



*******SMILE - FLOWER********



(Belum ada Judul) - Kita Teman kan?



            Pagi-pagi sekali, selepas makan bersama orang tua, Fauzi mengayuhkan sepedanya pergi sekolah. Perjalanan Fauzi memakan waktu 1/2 jam untuk sampai di MTsN Nurul Huda tempat Fauzi belajar. Lokasi madrasah itu sekitar 3 km dari rumahnya, agar bisa sampai kesana ada dua alternatif jalur yang bisa ditempuh. Pertama, jalur aman yang selalu diharapkan orang tua yakni jalan tembus belakang sekolah atau Kedua, jalan raya tetapi rawan kecelakaan. Khawatir akan anaknya, orang tua yang punya satu anak tentulah merekomendasikan pilihan pertama.

            Ada beberapa pertimbangan diantara kedua jalur tersebut. Menurut Fauzi jalan tembus belakang sekolah takkan cocok bila harus dilewati dikeberangkatannya, jaraknya jauh, menghabiskan waktu, ditambah lagi ia harus berjalan kaki saat berpijak pada tanah becek disitu. Walhasil, ia lebih memilih meluncur di jalan raya meski membuat orang tuanya khawatir. Sedang jalan belakang sekolah lebih ia sukai disaat kepulangannya. Namun, tak lupa disetiap keberangkatannya, ia selalu pamitan seraya berdo’a “Subhanalladzi sakhorolana hadza wa ma kunnalahu muqriniin wa inna ilaa rabbina lamunqolibuun” berharap Allah selalu menjaganya dan pulang dalam keberkahan-Nya. 

            Saat itu, jalan raya masih sepi pengendara. Sisi kiri dan kanan jalan ia saksikan pohon2 rindang seolah mengudara bersamanya, mentari pagi yang bersinar terang mengarahkan jalannya. Ia teringat pesan ibu padanya, “Nak, jika kamu sungguh2 menuntut ilmu dengan ikhlas, malaikat bahkan seluruh makhluk hidup dibumi ini akan mendo’akanmu, insya Allah ridho-Nya akan selalu bersamamu”.  Begitulah, rerumputan bergoyang seolah mengantarkan keberangkatannya dan udara kota Banjarmasin yang begitu sejuk kala itu sungguh membuat perjalanannya begitu nikmat. 

            Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Semester awal di tahun terakhir Fauzi berada di Tsanawiyah. Tahun depan, ia harus bersiap menghadapi ujian kelulusan memasuki SMA. Semangat dan nyanyian harapannya bergaung demi itu. Setiap tahunnya, di Madrasah ini ada pengelompokan kelas bagi para siswa. Yang unik di tahun ini karena ada kelas unggulan dimana setiap siswa dengan nilai rata2 tertinggi perkelasnya berkumpul disitu. Hal itu membuat siswa semangat belajar pada tahun lampau, meski memisahkan jiwa2 persahabatan dikelas sebelumnya. Ruang kelas itu berlabel III C, tersebut kelas unggulan, tempat Fauzi belajar kini. 

            Awal yang baru, Fauzi berada diatas awan, tiap kali bertemu teman baru seakan semua kemampuannya meluap keluar. Bakat dan hobinya yang terpendam ia tunjukkan dengan teman2nya. Fauzi duduk bersama Yusuf, remaja penuh hasrat dan semangat. Ia dan Yusuf ialah rival sejak kelas 2. Di bidang olahraga Yusuf dan Fauzi sering beradu kekuatan, satu hal yang tidak pernah dimenangkan Yusuf dari Fauzi ialah kecepatan berlarinya. Dalam adu fisik, harus diakui Yusuf lebih berotot, meskipun Fauzi lebih sering menang panco darinya. Entahlah, mungkin karena ada faktor X, atau genetik. Dalam nilai rapor, mereka berdua tidak jauh beda cemerlangnya. Hingga kepopuleran dikalangan wanita, pria berperawakan tinggi berkacamata cukup disukai. Sedang, pria berotot dengan motornya bertuliskan Ninja RR juga tidak kalah terkenal.  Mereka layaknya angin dan api, berhembus tuk meredam sang api, sementara panasnya justru semakin membara. 

            Diluar itu, Fauzi dan Yusuf ialah sahabat seperjuangan. Kenangan masa mudanya laksana syair puisi berirama kencang kadang tenang. Digambarkan oleh prosa yang begitu indah, membersit disetiap persaudaraan mereka. Ada satu kesamaan antara keduanya, ia dan Yusuf menyukai gadis yang sama di ruang III C itu. Nama gadis itu ialah Dilla, Faradilla. Entahlah, alasan apa yang membuat Fauzi menyukainya, hanya saja ia rasa gadis itu sedikit lebih cantik dari semua perempuan kelas III C. Mungkin karena sisi feminis dan kedewasaannya menuntun langkah Fauzi membuka pintu hatinya, atau juga, benih idealisnya dalam sisi ilmu pengetahuan hingga membuat embun kasih jiwa Fauzi menetes. Namun, ada hambatan bagi Fauzi dan Yusuf untuk menambatkan hatinya. Dilla sudah dimiliki Bayu, teman sebangku Fauzi di kelas 1.



            Didepan Fauzi dan Yusuf, tempat duduk Khoirul dan Fahri. Masih teringat jelas di memori Fauzi saat itu pertama kali Fahri mengulurkan tangannya sambil berkata, “Namaku Fahri, kita berteman?”. Ia melirik Fauzi sesaat seolah meragukan balasannya, tapi ia tepis khayalan itu sambil menyalami Fahri dan tersenyum, “Fauzi, ini Yusuf, oke, kita berteman”. Lalu ia memperkenalkan teman sebangkunya juga, Khoirul, dengan segala pujian2 dan ejekan padanya. Fahri punya hubungan keluarga dengan Dilla, katanya mereka saudara sepupu dari ibu. Jadi karena alasan itu persahabatan Fahri dengan Dilla cukup dekat, bahkan Dilla sering curhat padanya. Fahri orang yang ramah, paling mengerti dengan kondisi temannya, diantara mereka berempat ia cukup bijaksana. 

            Sementara Khoirul, orang yang lucu, tak banyak berkata, perawakan tubuhnya paling rendah dibanding yang lain. Ia lebih suka tenggelam dalam bisunya, bahkan tanpa memandang matanya, mereka bertiga bisa mendengarkan pikiran dan perasaannya yang menghadang. Fauzi dan Yusuf sering menjahili ia dengan menyembunyikan peci kesayangannya. Itu karena setiap harinya Choirul terus2an memakai peci, dan mereka takut rambutnya nanti botak, meski begitu ia selalu berucap, “Peci ini amanah ayahku, jadi akan terus kugunakan setiap hari! Grrrrr” lantaran kesal karena ulah keduanya. Waktu itu, Fauzi baru tau ternyata jarak antara rumah Khoirul dan ia tidak terlalu jauh. Hanya beberapa gang dari rumah Fauzi. Maka persahabatan keduanya semakin dekat. Pulang beriringan, hingga shalat jama’ah bersama. 

            Susunan tempat duduk kolom kedua ruang III C kala itu cukup mengasyikkan, baris depan diisi oleh Khoirul dan Fahri, dibelakangnya Fauzi serta Yusuf, menyusul baris ketiga diisi Dewi dan Shinta, Dilla dengan sahabat karibnya, Risda, di baris keempat. Fauzi dan Yusuf sering menoleh kebelakang sambil pura2 mencorat-coret mejanya Dewi, agar bisa menyaksikan pesona keindahan raut wajahnya Dilla saat tertawa. Meskipun, rencana murahan itu tidaklah bisa menipu dua orang perempuan yang satu geng juga dengan Dilla. “Heh, corat-coret meja orang! kalian pikir kami tidak tau kalo kalian itu diam2 menyukai Dilla, sudahlah… lupakan saja, Dilla sudah punya Bayu” ucap Dewi ketus. “Tau tuh! Bayu kan lebih keren, pengertian dengan perempuan, dibanding kalian, cihh.. kekanak2an,  kelaut aja loe!” tambah Shinta. Geram dengan ucapan keduanya, Yusuf membentak, “Huh! Biarin! Kami tak peduli, ya kan Zi?”. “Yo’i coy, selama janur kuning masih terbuka lebar, kami tidak akan menyerah!” omel Fauzi. 

            Begitulah, memori hari itu takkan pernah terkungkung dalam selubung pikiran Fauzi. Hari dimana ustadz2 mengajarkan pelajaran favorit Fauzi, Fiqih dan Al-Qur’an Hadits. Sementara ustadzah kesukaannya begitu cantik dan terlihat muda dikala mendorong motivasi siswa belajar Matematika. Kenangan empat sekawan yang tak pernah pudar, hingga persaingan memperebutkan hati seorang gadis dengan keluhuran jiwanya. Begitu lucu, memalukan, tapi unik. Mereka semua adalah jiwa-jiwa yang menemukan ketentraman manakala bersama. Laksana orang asing yang begitu riang saat bertemu dengan orang asing di negeri yang asing pula. Segala hati yang dipadukan dalam suasana kebersamaan, membasuh luka serta pahitnya kesedihan, akan selalu Fauzi kenang senantiasa.




Ruang III C- kolom 2 

(Belum ada Judul) - Tahun Itu...


            2006. Sore itu, duduk seorang anak di pelataran belakang rumahnya, memandangi ladang sawah yang masih kosong. Belum banyak rumah, tanpa ada kos2an, juga perluasan jalan, hanya terlihat begitu banyak pesona teratai yang menggenangi perairan. Ia sering menghabiskan waktu sore disana, bersama dengan kucing liar yang sering mampir kerumahnya. Menimbang2 dirinya sambil memimpikan tahun2 terakhir nanti. Melihat pohon kelapa tua yang tinggi menahan angin, bumi berselimutkan padi kekuningan, sedang matahari tenggelam menarik bayang2 rumput yang bergoyang dalam semilir awan. Nama anak itu Fauzi, Ahmad Fauzi.

            Tahun itu… Usianya masih 14 tahun, lagu Peterpan masih populer waktu itu, masih sering terdengar di channel radio karya mereka yang berjudul “Menghapus Jejakmu”. DutaMall di Banjarmasin selesai di resmikan, dan studio 21 ramai pengunjung, Novel dan Film “Ayat2 Cinta” karangan Habiburrahman El-Shirazi hangat dibicarakan. Tahun itu, kemenangan Itali terhadap Prancis kala piala dunia belum terlupakan, konflik AS-Iran juga AS-Irak sedang boomingnya di stasiun TV, kemelut terorisme ramai dibicarakan, Arab Spring mulai terpicu olehnya. Tahun itu juga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru menikmati masa2 awal kepemimpinannya di Indonesia. Masih tahun itu, komik “Naruto” menduduki peringkat atas, jajaran manga terfavorit skala global, mengalahkan “One Piece” yang lebih dulu merangkaikan kisahnya. Tetap saja ada anak yang menyimpan koleksi Doraemon di mejanya, seakan tak ingin menghapus jejak2 masa kecilnya. Dan tahun itu, awal ajaran baru di semester awal Sekolah Menengah Pertama, ini adalah tahun terakhir Fauzi berada di Madrasah Tsanawiyah, semester depan ia akan menghadapi ujian Nasional, sungguh merupakan misteri dikala ia memikirkan kemana langkahnya nanti ketika lulus. Tahun itu, dan tahun itu….

            Ayah Fauzi, Pak Zaini dan Ibu Fauzi, Siti Zuraidha sering tak ada dirumah. Ayahnya pulang dari kantor bertugas mengantarkan Ibunya ngisi tausiyah agama di majelis ibu2. Maklum, saat itu Fauzi masih dilarang mengendarai motor, jadi semua kegiatan antar jemput ayahnya yang melakukan. Ayah Fauzi bekerja di kantor Departemen Agama, lulusan S2 Manajemen Dakwah di IAIN, sementara sang ibu ialah PNS di salah satu Taman Kanak2, jebolan Fak. Tarbiyah IAIN juga.



            Konon katanya, pertemuan kedua insan ini sangatlah dramatis, bahkan romansa cinta keduanya mengalahkan perjuangan Romeo dan Juliet tuk mencari pasangan sejatinya, mematahkan kepahitan jalinan kisah Siti Nurbaya, melesat lebih cepat dari keindahan Ayat2 Cinta. Sehingga, saat Fauzi terlahir ke dunia, tergantikanlah 40 ekor kambing kurban demi anugerah Allah yg dihadiahkan tuk keduanya. Keluarga mereka hanya bertiga, Fauzi, ayah dan ibunya. Dulu, Fauzi punya adik, mungkin tahun itu, sudah menginjak 4 SD, tapi belum sempat mereka bicara, adiknya telah tiada.

            Hidup dengan kesepian, jiwa anak itu laksana bunga mawar yang dihembuskan angin bila sang fajar tiba. Ia bergetar dikala tak mendengar apapun kecuali dengung lebah madu membawa sarinya. Cukup manis bila ada seseorang di sampingnya, yang kan mengangkatnya ke atas awan mimpi, dan menaburkan serbuk cahaya dalam sepinya. Namun alasan itu, tidak membuatnya gundah gulana, apalagi menjerumuskan ia dalam gelapnya kebebasan remaja.

            Ia tahu tugas kedua orang tuanya begitu mulia. Membina umat, sungguh pelita hakiki yang suci. Sudah terlalu banyak kasih sayang pemberian mereka, hanya jiwa Fauzi yang bisa memahami arti kesendirian itu, ia hidup dan tumbuh bersamanya. Suatu sensasi tak terlihat oleh mata orang yang memandang. Maka jiwanya tetap tenang, tetap diam bersama dengan aliran air yang membasahi ladang sawah sore itu..

            Setiap orang pasti teringat masa lalunya, dan mencoba menggali kembali hari2 itu di lembah kenangan, terkadang ingin mengubah jalan ceritanya, berharap ada sesuatu yang lebih baik tergantikan. Kadang juga, berkhayal masa2 indah dan merangkaikannya dalam sebuah kisah baru. Ini adalah memori Fauzi 6 tahun silam, sebuah essay kehidupan yang masih tersisa dan kini hanya tinggal kenangan. Essay tentang seorang remaja yang penuh dengan mimpi, ambisi, dan harapan, rintihan hatinya tentang cinta, pelangi persaudaraan, hingga pahitnya kegagalan. Dimulai dari tahun itu, warna-warni kehidupan Fauzi yang penuh perjuangan.



Sore hari - belakang rumah (2006)

#Chapter three: HARI INI, AKU HIDUP..


         
Mataku terbuka, sayup-sayup terdengar derak handphone disamping wajahku, Qul A’uudzubirabbinnaas.., Malikinnaas…, Ilaahinnaas..,dst. Keheningan malam ditempatku berbaring pun sirna karena ulah alarm yg tersetting di handphone ku ini. Yah.. terbukti! dengan dipasangnya ringtone alarm bernafaskan ayat2 Allah ini, jiwa dan raga Alhamdulillah terjaga tuk bangun pagi2 demi shalat subuh berjama’ah. Soalnya lucu juga, masih saja ada orang yg tak bs bangun pagi2 padahal volume alarm sekencang2nya, dan ternyata, Lagu2 korea, Galau ria, Barat, Timur Tengah sampai Timur Leste.. lah penyebabnya,

                Kenapa? ya mungkin saja, irama dercak meriah dan lantunan sya’ir yg tdk jelas -nan tak dimengerti- itu bukan membuat nurani mu tersentak, tuk melangkahkan kaki menghadap Allah, tapi malah menambah kenikmatan setan dgn tiupan godaannya, hingga menambah lelapnya tidurmu. Cobalah sesekali gunakan alarm yg beralunan indah nan penuh pesona, seperti ayat2 Al-Qur’an, apalagi yg muatan ayatnya tentang perlindungan terhadap setan, insya Allah, semoga Allah memudahkan.

                Seusai shalat subuh di mesjid Al-Mu’minin yg berdekatan dgn rumah, biasanya tugasku ngajarin anak didik yg umurnya 7 tahun baca Al-Qur’an. Maklum, pekerjaan ini baru2 saja menggelayutiku, satu karunia yg besar dari Allah di tahun ini. Dalam perjalanannya, sesekali kutugaskan ia tuk memperlancar surah2 juz 30, berharap nantinya ia bisa hafidz dalam waktu yg cepat. Semoga.

                Pagi ini, ufuk fajar menampakkan sinarnya, sesekali kupejamkan mata, kusaksikan selimut2 mimpi yg terkadang meraung di dinding pikiranku. Setiap kali kututup telinga, terdengar bisik2 rencana untuk hari ini dan masa depan. Dan setiapku terbenam dalam bisu, pikiran2 pahit tentang masa lalu membakar khayalku, Tahukah kamu apa yg sedang ada dibenakku saat ini kawan? Gema itu terdengar seperti “Suatu saat nanti aku akan bisa mencapai mimpiku!”, “Rencana hari ini aku harus begini, begitu, dst..”, “Ahh.. munafik! Aku itu dulunya begini, begitu, dst,.. Apa yg bs kulakukan? Sama saja, tidak ada bedanya dengan yg lain”. Entahlah, saat kuhembuskan nafas di tiap pagi, terkadang aku pulang dengan perasaan kecewa tanpa tau apa penyebabnya. Perasaan itu laksana seekor burung yg terjebak dalam sangkarnya, merana melihat kawanannya terbang dilangit yang lapang.

                Pernahkah kamu merasakan hal itu kawan? Kata orang, ketidakmengertian membuat orang hampa, dan kehampaan menciptakan ketidakpedulian, namun di tengah kegelapan pula terdapat secercah kedewasaan, hmm, entahlah…

**********************************************************
                Jika kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan kita jalani, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari kita, dan siangnya menyapa kita, inilah hari kita.” (Aidh Al-Qarni - La Tahzan)

            Mungkin, maksud dari kutipan Dr. Aidh Al-Qarni ini dapat membuka sepercik harapan ditengah kidung kebingungan itu. Terkadang, kesedihan mengganjal di hati kita tatkala berfikir tentang keputusasaan akan jaring2 masa lalu. Juga, sesekali ketakutan membayangi langkah kita saat merenungi masa depan yang penuh ketidakpastian itu. Lika-liku hidup ini penuh misteri, segalanya adalah ketentuan Allah dan seluruhnya ialah kuasa-Nya. Bukankah akan lebih bijak bila segala hal yg rahasia itu kita sikapi dengan perasaan syukur dan penuh keridhaan? Sesuai dengan firman-Nya:

{Maka berpegangteguhlah dengan apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur.} (QS. Al-A'raf: 144)”

            Maka katakanlah, “Hari ini, aku hidup…” karena, mungkin saja hidup kita cuma untuk hari ini..

            Karena hanya hari ini kita hidup, dimana kita punya kesempatan utk menjauhi dunia yg penuh gemerlap itu. Karena hanya hari ini kita hidup, dimana kita bisa menyentuh kening kedua orang tua kita, menatap wajahnya yg indah tiada tara, baktilah kepadanya! Karena hanya hari ini kita hidup, dimana kita dapat menghembuskan nafas kehidupan, menikmati segala yang Allah berikan. Karena hanya hari ini kita hidup, kita singkirkan segala kegalauan yg menari2 dilubuk hati, pikirkan tentang kebaikanmu, kebaikannya, sudahlah, akhiri saja hubungan penuh godaan itu. Karena hanya hari ini kita hidup, laksanakanlah perintah Allah sebaik mungkin, rajin2 lah membaca Al-Qur’an, berpegang teguh padanya dan mengamalkannya. Karena hanya hari ini kita hidup maka berbuat baiklah kepada orang lain dan mengulurkan tangan kepada siapapun. Karena hanya hari ini, kesempatan untuk menghargai waktu, sebab waktu, suatu hal yg tak bisa kembali.

                Demikian, semoga saja tulisan yg sederhana ini dapat menjadi cambuk motivasi tersendiri bagi penulis dan kita semua tentunya.  Sulit memang utk menghargai waktu, tapi kita, sebagai manusia yg sering salah & khilaf harus berusaha memperbaikinya. Apalagi dibulan Ramadhan ini, di saat2 terakhir bulan penuh berkah, kapan lagi kita akan bermunajat dengan Sang Khalik, mendekatkan diri pada-Nya, rindukan ampunan-Nya.

karena

“HARI INI, AKU HIDUP… “

* Sabtu, Ramadhan 2013
-ditemani dgn lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh ayahanda tercinta
-dan ibu, sedang menyiapkan menu berbuka