Kalau
kau benar-benar sayang padaku….
Kalau
kau benar-benar cinta
Tak
perlu kau katakan semua itu
Cukup
tingkah laku
Semua
bisa bilang sayang....
Semua
bisa bilang
Apalah
artinya sayang...
Tanpa
kenyataan...
Jutaan kata tanpa makna, gubahan puisi manapun akan layaknya
fatamorgana saja bila itu hanya hiasan bibir. Bila engkau memang cinta, bila
engkau memang sayang, maka buktikan!
Engkau menyayangi sang kekasih, engkau menyayangi
keluarga, engkau menyayangi sahabat, jangan biarkan rasa sayang itu hanya
menjadi abstrak berupa pautan hati, atau menjadi semu dan hilang begitu saja
dari mulut. Jadikan rasa cinta, kasih, sayang itu nyata dengan laku perbuatan.
***
Suatu ketika seorang bocah merangkak pelan menuju
tungku api. Sang Ibu yang kebetulan melihatnya menyerunya untuk segera menjauh.
Namun sang bocah tak menghiraukan. Dia terus saja merangkak. Sang ibu berteriak
dan membentak keras. Namun si bocah tetap merangkak menuju tungku api. Maka tak
ada cara lain, si ibu lalu merenggutnya dengan kasar. Si bocah meronta menangis
tidak terima dengan perlakuan sang ibu. Namun si Ibu tetap bersikeras, bahkan
kalau perlu menampar anaknya tadi supaya menuruti keinginan dia.
***
Persis seperti kisah di atas. Bahwa seringkali ujud
kasih sayang itu tidak selalu berupa tingkah laku manis, rayuan gombal atau suasana penuh keromantisan. Seringkali malah berasa pedih dan pahit.
Namun pahitnya berujung manis dan pedihnya lambat laun berakhir bahagia. Bocah yang sedang menuju tungku api... maka apa tindakan yang tepat? Patutkah
orang yang mengaku sayang pada bocah itu membiarkannya terus merangkak atau
malah menyoraki supaya lebih cepat merangkaknya? Jelas kita sepakat mereka yang
mendukung dan membiarkan itu adalah kategori orang-orang yang sangat jahat.
Lalu apa tindakan yang tepat? Teriaki dan segera
cegah sebelum si bocah keburu terbakar. Apa komentar anda pada tindakan
barusan? Wajar! Siapa pun yang masih punya hati pasti tidak tega melihat sang
bocah terbakar sia-sia. Apalagi si Ibu dimana sang bocah adalah buah hatinya.
Tentunya dengan segenap usaha dicegahnya, dia akan berlari kencang untuk
menyelamatkan kesayangannya itu.
Si bocah pun berteriak meronta mencaci ibunya. Kenapa ibu menghalangi keinginannya? Ibu kejam! Ronta si bocah.
Senyum mengembang dari sang ibu tak peduli dengan
makian si bocah. Nggak apa-apa, dia memaki seperti ini karena dia tidak
tahu..... batin sang ibu.
Persis hal yang sama terjadi dalam dakwah. Para da’i
layaknya seseorang yang berteriak mencegah bocah yang sedang menuju tungku api.
Dia, karena cintanya tidak akan pernah tega membiarkan saudara-saudaranya
terbakar sia-sia dalam ’tungku api’. Dan dengan cinta tadi maka segenap upaya
dilakukan untuk menyelamatkan saudaranya tadi. Walau pada akhirnya bahkan
cacian, makian, atau siksaan yang dia peroleh... namun di bibir para pendekar
terukir senyum yang terkembang.. Nggak apa-apa... mereka seperti ini karena
mereka belum tahu....
Yap, tersenyum bangga. Karena
sesungguhnya kita melakukan itu karena rasa cinta....
Dakwah adalah tanda cinta. Dakwah adalah ungkapan
kasih sayang yang hakiki.
Sehingga para pendekar dakwah sesungguhnya adalah
para pencinta sejati.
”Kami sayang kepada saudara kami, keluarga kami,
sahabat kami” ungkap para pencinta. ”Maka tak akan kami biarkan mereka
’merangkak menuju tungku api’” tekadnya
Ketika saudara kita melakukan maksiat, menyimpang
dari rel-rel hukum syara maka apa ungkapan sayang kita kepada mereka? Apakah
membiarkan atau malah mendukung? Tidak, bahkan itu tindakan yang sangat kejam!
Membiarkan mereka menuju adzab neraka yang membakar...
Yang dalam satu hadits riwayat Tirmidzi Rasulullah
menggambarkan bahwa Adzab
teringan di neraka pada hari kiamat, adalah laki-laki yang di kedua kakinya ada
dua butir bara api yang dapat mendidihkan otak. Woiii! Itu adzab teringan
woiii! Maka bergidiklah kita, na’udzubillah! Sedetik pun tak ingin diri ini
berada di sana.
Lalu bagaimana
dengan saudara kita, keluarga kita? Nah, hanya orang egois yang mau membiarkan
saudaranya terjebak di dalam sana.
Justru karena sayangnya kita, sudah sepantasnya kita
cegah sekuat tenaga, semampu daya kita. Seolah kita meneriakkan warning
’Bahaya!’ jangan mau ke sana!
Walaupun realita menujukkan si penyeru malah
seringkali dihadiahi cibiran benci, makian kasar, atau bahkan pukulan,
cambukan, siksa penjara.... tapi ya... nggak apa-apa, ini karena sayang....
“Siapa saja diantara kamu melihat
kemunkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka
ubahlah dengan lidahnya. Kalau juga tidak sanggup maka dengan hatinya. Ini
adalah selemah-lemah iman” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dari Abi Said al-Khudry)
Mengubah
di sini adalah bagaikan menyirami tanaman yang terancam layu. Mengguyurnya
dengan segenap cara, memotong-motong bagiannya yang mengganggu. Namun semua itu
sekali lagi demi rasa sayang... keinginan kita agar tanaman itu berbuah
berbunga.
Karena sayang
Aku tak ingin saudaraku terjatuh dalam kubangan adzab
api neraka yang panasnya tak terperikan,
Justru karena aku sayang padamu,
Maka yang kuinginkan adalah kita beromansa bersama
nantinya dalam keindahan taman-taman surga.
Begitu lagu yang didendangkan dari lidah para dai si
penyayang....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar