About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

7/14/2014

Man Of The World

Foto yang kalian lihat adalah foto ayah saya. Drs. H. Bahruddin, M.Pd.I ketua Dewan Pengawas Departemen Agama Banjarmasin. Akhir2 ini saya cukup mengkhawatirkannya, terutama kesehatannya. Sepekan yang lalu beliau didiagnosis menderita kanker nasofaring. Kanker terganas di bidang THT, yang kalo menurut teori di buku sih survival ratenya 5 tahun. Saya sih berharap bukan demikian, semoga beliau dipanjangkan umur hingga menjumpai saya ketika lulus menjadi dokter, punya istri yang pas, dan menjadi da’i muda penerus keluarga. Bahkan saya sangat berharap nanti bisa mengajak beliau ke Mesir atau Yaman untuk berdiam disana selama saya berjuang menuntut ilmu agama.

Kali ini saya ingin menuliskan tentang ayahanda. Bukan apa2, hanya saja, semoga tulisan saya ini nanti bisa mengingatkan saya betapa berharganya punya seorang pemimpin keluarga yang bijaksana. Ayahanda, sosok disiplin dalam agama. Pemimpin keluarga yang sangat bertanggung jawab. Seorang pejuang dakwah yang bergerak dibalik layar. Saya pribadi sangat menghormatinya. Sejak kecil beliau adalah panutan saya dalam berpijak. Sebagai seorang lelaki sejati dan imam keluarga beliau merupakan teladan saya. Tentu saja Rasulullah SAW adalah uswatun hasanah (mohon jgn berpikiran macam2), tapi bagi seorang anak, keberadaan seorang ayah menjadi lebih berarti dalam kehidupannya, apalagi masa silamnya.

Orang bilang saya sekarang sangat mirip dengan ayah. Bahkan sampai kehidupan kami pun cukup mirip. Gaya berpikir, penampilan, karisma dan ketampanan (ya elah.. hhah). Just kidding fren.. Kenapa seperti itu? Entahlah, dari kecil saya sangat ingin mencontoh ayah dan membuktikan padanya bahwa saya lebih hebat darinya. Namun sampai sekarang entah kenapa saya belum bisa2 menggapainya, ujung2nya saya seolah prototype yang gagal, hha. Bayangkan, ayahanda ketika menjadi pemimpin keluarga bisa menjadi apa saja (multi talent), beliau bisa jadi montir, tukang listrik, tukang kayu, mekanik, pokoknya serba bisa. Belum lagi keilmuannya di bidang agama, meski saya pikir keilmuan saya lebih maju di masa sekarang, hhe (soalnya dlu beliau jarang ketemu masalah khilafiyah umat), tapi utk beberapa hal saya rasa beliau jauh lebih expert. Yang paling membuat saya kagum adalah kedisiplinannya dalam beribadah dan semangatnya utk meramaikan dakwah Islam kepada kawan2nya di Departemen Agama.

Beliau sangat disiplin dalam menjaga waktu shalat berjama’ah. Sejak saya akil baligh hingga sekarang hampir 100% beliau selalu shalat berjama’ah di mesjid atau mushola. Jika kawan2 kebetulan singgah di Mesjid Al-Mu’minin Komplek Kenanga (rumah saya) kawan2 bisa bertemu ayahanda yang sering sekali menjadi imam shalat jama’ah disana, (kecuali jika beliau berhalangan). Makanya sering sekali saya dibuat takjub oleh perbuatannya. Beliau mencontohkan, bukan memerintah. Seperti itulah seharusnya sosok seorang ayah, TALK LESS DO MORE! Asseek… Dalam hal ini sangat berbeda jauh dengan saya, yang banyak bicara tapi sedikit melakukan, ahh.. Maaf kawan…

Tahukah kawan, dulu sebelum masuk Universitas Islam, ayahanda punya kehidupan yang mirip dengan saya. Dua tahun sebelumnya beliau kuliah di jurusan Bahasa Inggris. Bedanya, jika saya seolah2 ditakdirkan setelah 2 tahun pindah ke kedokteran, beliau bermasalah di perkuliahan karena permasalahan keuangan. Ya.. beliau kuliah sambil kerja. Selama dua tahun dia berusaha mencari nafkah sebagai sopir angkot, beternak ayam, hingga membuka bengkel kecil2an. Hal itu beliau lakukan karena ingin membantu keluarga & empat orang adiknya yang basicnya kurang mampu.

Kehidupan percintaan, hhe. Biar saya ceritakan sedikit. Konon katanya kisah cinta ayahanda dan ibunda mirip kaya sinetron layar lebar, Wuih… Salahlah orang mengira bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas perasaan, dan jika tunas ini tumbuh sesaat, ia tak lagi tumbuh bertahun2 atau bahkan dari generasi ke generasi. Seperti itulah kedua pasangan itu, mereka yang bertemu sekian waktu telah menghadirkan ikatan yang kuat. Ikatan yang bahkan tak lekang oleh hambatan perjodohan. Iya.. Perjodohan?

Ibunda yang sama2 berada di Universitas Islam dengan ayah dulunya juga berasal dari keluarga kurang mampu. Penuh perjuangan membantu keluarga & empat orang adiknya (sama kan? aneh ya..). Yang namanya jodoh tidak bisa ditebak, “Laki2 yg baik utk wanita yg baik, dan sebaliknya”, sepertinya suratan jodoh memang akan seperti itu. Niat ibunda ingin memberikan kehidupan yang layak utk adik2nya, makanya ia rela dijodohkan dengan lelaki yang cukup kaya. Hanya saja, waktu itu ayah sudah terlanjur memendam rasa, maka ia memperjuangkan, tak peduli halau rintangan. Alhasil, berbagai macam trik ia lakukan (yang tak perlu saya kisahkan disini) dan Eureka! luluhlah hati sang ibunda. Terkagum dengan usahanya yang serius utk menjadi imam keluarga. Cieee.. Plok! Plok! Plok!

Kriteria ayah terhadap seorang wanita saya rasa cukup ideal, tidak berbelit dan simpel. Beliau bilang carilah wanita dari universitas Islam, bersifat qona’ah, dan bisa memasak. Nah, simpel bukan? Saya pikir kriteria itu nantinya bisa dipakai kembali. Rencananya sih saya maunya nanti nyari pasangan di Universitas Al-Azhar, Mesir atau Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Wah.. berat ya? Hhaha, tapi tidak mutlak begitu, setidaknya wanita tersebut cukup taulah tentang agama, dan yang paling penting bisa ngaji. Klo sifat qona’ah saya rasa bisa diketahui dari latar belakang keluarganya. Untuk keluarga yang hidupnya sedang2 aja, semoga nantinya rela terbiasa hidup dengan saya dikala senang & susah. Memasak? sebetulnya saya bisa saja masak sendiri, hanya saja kata seorang lelaki (tak sebut nama), rasa masakan seorang istri kadang mampu menggambarkan kasih sayangnya terhadap suami. Hmm.. Patut dicoba.

Dalam mendidik anak, ayah betul2 menunjukkan perannya. Ibunda bilang ayah membuat perjanjian dulu sewaktu saya kecil untuk perannya dikeluarga. Beliau rela dijadikan sosok antagonis (perspektif anak kecil) dan ibunda memainkan peran sebagai yang mengasihi dan menyayangi. Makanya waktu kecil saya cukup kesal dengan ayah karena sikapnya yang sangat tegas dan disiplin. Beliau tak pernah meladeni permintaan saya seperti membelikan mainan, robot2an, petasan dsb, dan saat bisa membelinya pun justru saya di ceramahi. Beliau juga tidak segan2 memukul saya jika saya tidak shalat atau berbuat nakal. Terlebih lagi, satu kali pun saya tak pernah dapat pujian darinya saat saya berprestasi, kecuali di bidang agama. Ya.. jika itu tentang agama beliau sangat senang, saya masih ingat pujiannya dulu ketika saya bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Sebaliknya, meski saya ranking 1 di satu Madrasah pun atau mendapat NEM tertinggi beliau hanya bilang utk tidak meremehkan masa depan. Ayahanda lah orang yang mendidik saya menjadi pribadi yang peduli terhadap agama. Beliau betul2 mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan agama. Beliau sekolahkan saya di pendidikan Al-Qur’an, tsanawiyah, bahkan beliau ingin sekali memasukkan saya dulu di Madrasah Aliyah dan Universitas Islam, tapi saya menolaknya, maafkan saya ayah..

Saat dewasa barulah saya sadar bahwa seorang ayah memang harus seperti itu. Ia mesti bersikap tegas layaknya komandan pasukan. Memberi hukuman terhadap kesalahan, dan memberi apresiasi untuk prestasi. Jika seorang anak tidak diperlakukan demikian, maka ia akan berubah menjadi pribadi manja dan tidak menaruh hormat pada pemimpinnya. Sebetulnya saya pun tau sebuah rahasia yang diceritakan ibunda. Meski tak diungkapkannya, seringkali ayah membanggakan saya dihadapan kawan2nya. Ia selalu mendukung saya dibelakang kala memasuki SMA (yang katanya SMA favorit di bjm), ia memuji saya saat berprestasi di ranking 10 besar, dan ia sangat bangga kala saya kuliah di kedokteran. Ibunda dan beberapa kawannya bilang seperti itu. Begitulah…, ada sesuatu yang lebih agung daripada yang diutarakan oleh mulut. Saya mengerti perasaannya, tanpa beliau katakan pun saya merasakan kasih sayangnya, kecenderungan hati, dan tumpuan harapannya. Karena pada dasarnya, saya mirip dengannya.

“Rabbighfir lii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii saghiiro”. Rabbi, semoga selalu Engkau jaga ayahanda dan ibunda.

Saya sebetulnya tidak perlu bersedih hati dan khawatir, tersadar dibelahan bumi Palestina kian banyak orang menyaksikan keluarga tersayang dan karib kerabat mereka dibantai. Miris melihatnya, karena kali ini saya benar2 merasakan bagaimana hancurnya jiwa tatkala orang yang kita sayangi pergi. Lucunya, tidak ada yang bisa kita lakukan selain aksi solidaritas dan mendo’akan mereka. Termasuk saya, kadang saya berharap diberikan kekuatan Super Saiyya agar dengan satu tembakan “Kamehameha”, saya mampu meluluhlantakkan tanah2 musuh agama Allah. Atau setidaknya secara ilmiah saya diberikan petunjuk utk mengembangkan Virus Ebola lalu menjadikannya wabah di lingkungan mereka. Kejam banget bukan? Soalnya kali ini saya benar2 kesal. Laa hawla walaa quwwata illa billah, namun faktanya tiada daya dan upaya yg bisa saya lakukan sekarang sebagai tindakan nyata. Untuk sekarang, saya pikir kita harus lebih menghargai hidup, gunakan umur2 terakhir kita untuk tindakan nyata untuk dunia. Semoga di masa depan kita mampu memberikan solusi, bukan hanya janji.

Saya? sudah saya bilang akan fokus dlm menuntut ilmu syari’ah dan kedokteran. Berharap di kedua bidang ini nantinya saya berguna utk sesama. Seperti para ulama dulu membangkitkan semangat umat lewat dakwah mereka yang mulia. Seperti Ibnu Sina, yang memberikan terobosan2 di bidang medis. Selamatkan Palestina dan Negara Islam lainnya dengan segala usaha yg bisa kita lakukan sekarang! Jangan sia2 kan hidupmu kawan, karena hidup sangatlah berarti bagi orang2 yang mengerti..

-Malam minggu-

Diiringi instrument editan sendiri, “To the Hope”
http://www.4shared.com/mp3/z_UzbgXh/To_the_Hope.html

dan "We will not go down (GAZA)-Michael Heart"

Tidak ada komentar: