SMA, seingat Fauzi umurnya saat
itu jelang 18 tahun. Bulan itu adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang
selalu ditunggu-tunggu umat muslim. Bulan ketika Al-Qur’an dulu diturunkan
untuk insan yang terbaik akhlaknya dan malam seribu bulan dihadirkan kepada
orang-orang terpilih. Bulan dimana dosa-dosa manusia terampuni bila sungguh
bertaubat, dan semua amalan dilipatgandakan nilainya. Maka semua manusia
berlomba-lomba untuk mengejarnya, tak terabaikan pula diri Fauzi, ia
menantikannya. Sungguh merindukannya..
Sebuah
anugerah atau cobaan, bulan itu.. cinta kembali hadir dan menyentuh selubung
hati Fauzi. Cinta yang seperti cahaya, ditulis dengan tangan cahaya,
terpatrikan diatas lembaran cahaya. Cahaya itu melenyapkan kabut memori Fauzi
tentang keraguan hati. Tatkala banyak wanita yang dapat meminjam hati pria,
Fauzi tidak semurah itu. Hanya sedikit yang memilikinya, ialah ibu dan keluarga
terkasih kebanggaan Fauzi. Namun bulan itu.. seorang wanita merenggutnya.
Membuat hidupnya, kesendiriannya, penuh dengan ingatan. Sebuah ingatan tentang
janji yang terikat dan bahkan bila sekejap Fauzi berdiri, ia coba melakukannya
sepenuh hati.
Ramadhan,
kira-kira akhir tahun 2009. Beberapa bulan setelah itu adalah akhir semester
ganjil. Semester depan merupakan tantangan yang paling mendebarkan dikalangan
siswa SMA. Ujian Nasional dan ujian tulis penentu masa depan bangku
perkuliahan, SNMPTN. Sebelum akhir pekannya akan dipenuhi dengan ‘penganiayaan’,
alias pengayaan belajar. Sebelum masa depannya akan dipertaruhkan dengan kerja
keras dan do’a. Sebelum masa-masa itu, ia dan kawan-kawan rohisnya ingin
menghabiskan akhir bulan Ramadhan itu dengan kegiatan yang asik dan penuh
berkah. Tersebutlah “Pesantren Ramadhan Nasional”, momentum pertemuan Fauzi dengan
wanita itu.
******
Buka puasa bersama. Satu detik lalu, jantung
dan hati Fauzi terbang tinggi. Ia mencoba bangun dari khayalnya. Tatkala didepannya
muncul sosok wanita yang diidamkannya. Wanita itu membuat hati Fauzi meleleh.
Ia layaknya surya yang menuntun bayang-bayang pepohonan. Menyinari kegelapan
hati Fauzi tentang wanita zaman sekarang. Seakan tak percaya bila ada wanita
seperti itu, dan benarlah pepatah lama, “dari mata turun ke hati”. Ia dengan
jilbab syar’inya membekukan langkah kaki Fauzi. Dua insan dipertemukan untuk
menemukan kebenaran tentang sudut lain dunia. Seseorang tak bisa berucap, namun
wanita itu memahami. Ia membalas Fauzi dengan senyuman, sebentuk usapan kepada
jiwa yang kosong, dan bahkan awan tak seteduh tatapannya saat itu.
Dalam
sunyi, Fauzi mencoba bersuara lirih, “Assalamu’alaikum..”. Lalu wanita itu
dengan lembut membalasnya, “Wa’alaikumussalam, dari Banjarmasin ya?”. “eh, i..iya,
dari Banjarmasin, kenapa?” ucap Fauzi kikuk. “Saya dari banjarbaru..” Lalu
wanita itu pergi dengan tawanya yang manis bersama teman-temannya. Fauzi tak
sempat mengucapkan beberapa patah kata lagi. Namun saat itu, jiwanya memahami
arti dari frasa yang orang ucapkan selama ini, “lingkaran hati”. Sebuah siklus
pertemuan rasa, bahkan tanpa harus mengungkapnya, ataupun mengenalnya. Fauzi
tak tau bagaimana mengungkapkannya. Meskipun ia memahami rasa itu, ia takkan
mampu menggapai maknanya dan selamanya akan samar terbungkus oleh kata dan
takkan bisa tertera dengan pena. Fauzi mencoba menepis segala keraguannya, maka
ia coba mencari informasi tentang wanita itu, nama lengkapnya, sekolahnya, dan
dimana ia tinggal. Hingga cukuplah segala rasa penasaran Fauzi setelah
mengetahui dimana wanita itu berada.
Sebuah SMA di kota Banjarbaru, yang terkenal dengan nuansa agamanya, asramanya,
juga biayanya yang cukup tinggi. Dan betapa bahagianya ia saat mendapat info
dari sahabat karib wanita itu, bahwa wanita itu.. masih jomblo.
*****
Saat
itu, keheningan berubah menjadi suasana menakjubkan. Disaat seluruh santri mencoba
menunjukkan kemampuan diskusinya, wanita itu muncul dengan indahnya, mematahkan
segala kesombongan santri lain. Dibalik keanggunannya, wanita itu sungguh
cerdas. Ia dengan kemampuan bahasa Arabnya, tidak disangka membuat seluruh
lelaki di auditorium takkan bisa memejamkan mata, sungguh memesona.. Fauzi tau dirinya bukanlah satu-satunya pria
yang menyukai wanita itu. Maka benarlah kekhawatirannya kala mengetahui kawan
karibnya sendiri juga menyimpan rasa terhadap wanita itu. Kawan yang juga ikut andil
dalam pertemuan rohis se-indonesia itu. Maka dalam kesempatan itupun, pria yang
akrab disapa Razi itu, mengeluarkan kemampuan diskusinya juga. Razi berdiskusi
dengan wanita itu dengan penuh tawa, di hadapan seluruh penonton, dengan
kemampuan bahasa arab yang mereka miliki.
Razi,
kawan sebangku Fauzi di kelas 2 SMA. Ia seorang siswa yang diakui Fauzi dalam
hal pengetahuan agama. Meski dalam nilai pelajaran, ia kalah bersaing dengan
Fauzi. Bila membahas persoalan agama, Fauzi begitu menghormatinya. Maka
layaknya Ali ra, sahabat nabi yang mengalah memperjuangkan hati Fatimah, Fauzi
pun demikian. Ia lebih memilih memendam rasa dan mempersilakan. Memilih untuk
berdiri tegar, ketimbang memutus tali persahabatan. Terfikir oleh Fauzi saat
itu, “Allah menjagaku rupanya..”.
Sehingga
berlalulah masa-masa itu, Razi dan wanita itu semakin dekat, sedang Fauzi kian
berdiri di sudut maya. Mencoba terbangun dari mimpi buruknya.
*****
Selang
beberapa bulan, wanita itu menyapa Fauzi lewat pesan media sosial. Fauzi tersenyum
sejenak, karena jauh dilubuk hatinya, masih terukir nama wanita itu. Ia
menanyakan kabar Fauzi, bagaimana keadaannya, dan suasana sekolahnya yang
mendekati ujian. Meski beberapa lama wanita itu menghilang keberadaannya, saat
itu, Fauzi merasakan kehadirannya. Percakapan kedua insan itu kian memanjang,
bahkan dalam dunia fatamorgana, pertemuan hati yang lama tak berjumpa akan
selalu menyenangkan. Fauzi mencari cara untuk menanyakan hubungan wanita itu
dengan Razi. Dan sirnalah kemelut jiwanya waktu wanita itu menuliskan, “Kami
gak ada apa-apa, cuma temenan J..”
*****
Hari
itu, Fauzi takkan pernah melupakannya. Hari dimana kedua jiwa disatukan dalam
ikatan janji. Fauzi dan wanita itu sama-sama diam menunggu yang lain untuk
berbicara, namun bicara bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengerti. Bukan
hanya kata-kata yang keluar dari bibir dan lidah yang bisa menyatukan nurani.
Keheningan menerangi jiwa mereka, bersama tiupan daun yang mengalir lembut,
membawa ungkapan kata terasa diujung mata. Fauzi memberanikan diri dan
bertanya, “Kalau sudah lulus SMA, kamu mau melanjutkan kemana?”
Wanita
itu menghadap ke langit, lalu ia bilang, “Aku tidak tau zi, selama ini
kubiarkan hidupku mengalir seperti air, biarlah takdir membawa asa dan citaku
dalam pilihan yang terbaik, kalau kamu kemana?”. Fauzi terdiam sejenak.
Kata-kata yang diucapkan wanita itu, memenjarakan Fauzi ditengah masa lalu dan
masa depan. Seperti sebuah kapal yang menempatkan jangkarnya di tengah lautan.
Kata-kata itu membangunkan tidur keremajaan Fauzi, dan menempatkan posisinya
kelak berada di panggung dunia yang penuh pilihan. Fauzi tau bahwa wanita itu
punya banyak talenta, meski ragu, ia ingin membuat wanita itu tidak bias
terhadap harapan. Fauzi bilang, “Jika seperti itu, kamu akan bimbang dengan
cita-citamu, kamu harus memilih, seperti aku, aku punya keinginan untuk menjadi
dokter”. Wanita itu tersenyum, “Begitukah? kalau gitu, aku juga mau jadi
dokter, hihihi..” ucapnya lembut. “Loh, kok bisa? cepet banget mutusinnya?” Fauzi
menertawakan kepolosan wanita itu. Meski begitu polos, Fauzi menyukai wanita
itu. Tak pernah sedikitpun ia menyombongkan diri di hadapan Fauzi. Untuk
seseorang yang dipenuhi banyak talenta, Fauzi bukan apa-apa dibanding dirinya.
Dua
bulan berlalu, ujian Nasional begitu menegangkan, tak sedikitpun Fauzi
bergeming dalam kerja kerasnya untuk mendapatkan hasil yang terbaik dengan
jujur dan tawakkal kepada Allah. Lama tak terhubung, wanita itu mengabarkan
berita dengan penuh gembira. Ia bilang kepada Fauzi, bahwa ia mendapat beasiswa
dari Departemen Agama untuk kuliah Kedokteran di salah satu universitas luar
kota Banjarbaru. “Aku pasti menyusulmu..” ucap Fauzi yakin. Hari itu, Fauzi
berjanji dengan dirinya bahwa ia harus bisa lulus SNMPTN, dan menggapai
harapannya. Untuk menjadi dokter.
*****
11
Mei, 2010. Fauzi menulis Pendidikan dokter, Universitas wanita itu. Pendidikan
dokter, di sebuah Universitas Banjarbaru pilihan kedua, dan Kesehatan
Masyarakat pilihan ketiga.
30
Juni, 2010. Hari yang kejam untuk seorang pemimpi seperti Fauzi. Hari itu, ia
harus menerima kenyataan bahwa harapannya sirna.
*****
Bulan-bulan
berlalu, Fauzi membuka mata dan melihat dunia. Ia telah terima sebuah anugerah
dari Yang Maha Kuasa. Sebuah harapan dalam setitik iman. Walau hanya sebuah
harapan yang tak mungkin berdalih. Lembaran baru telah ia pilih. Demi sebuah cinta ataukah cita, ia
beranikan diri untuk beranjak dari kelamnya masa yang sirna. Telah ia dapati
semua teman yang membimbingnya menuju cahaya. Untuk sebuah keteduhan hati, untuk
bisa mengubur kedalaman emosi, Fauzi tak ingin kehilangan arah. Meski di sela
waktu, kadang ia terpuruk jatuh. Beban itu kian membawanya terbang menuju dunia
yang penuh rasa dan suasana. Semua tentang wanita itu, semua tentang Fauzi, kini
tinggal sejauh mimpi.
Kenangan
itu, sebuah bentuk pertemuan. Kehampaan kadang berarti kebebasan. Lama Fauzi
terbaring dalam kabut awan, terdiam dan tak sadar akan pergantian siang dan
malam. Lalu mentari menariknya, membangkitkannya untuk tetap berjalan ke depan.
Dan sang Pencipta, Yang Memberikan Pelita membuatnya menyanyi bersama hari,
bermimpi dan berdo’a sepanjang malam. Keajaiban itu, teka-teki itu, telah
membentuk Fauzi, juga mendewasakan hidupnya. Maka Fauzi tetap berdiri tegak,
berjalan mantap menuju sebuah pilihan. Menyusuri tepian hidup dengan sandaran
hati, Allah dan Rasul-Nya serta keluarganya.
*****
2012,
Fauzi berhasil menepati janjinya. Memberikan arti dalam hidupnya yang pernah
terhempas dan terlepas. Meski di universitas berbeda dan generasi yang tak sama,
Fauzi memenuhi janjinya.