About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

10/22/2012

Ini bukan gombal...


“Kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah….” (TQS Ali Imran 110)

”Wah, pokoknya ayat ini favorit saya, dah..” dulu, saya punya sahabat yang begitu mengidolakan ayat ini. Menurutnya ayat ini begitu menyejukkan, dan begitu membawa kedamaian. Hmm... Saya sih maklum saja, siapa sih di dunia ini yang tidak suka dengan pujian dan sanjungan. Seperti begini, ”Sebenernya kamu itu cakep lho..” wah, cowok mana yang tidak melambung dengan kata-kata ’gombal’ seperti itu, apalagi kalau yang bilang adalah cewek sang pujaan hati. Langsung deh, pas ke rumah buru-buru mematut diri di kaca ”hmm... kayaknya emang bener, saya kok bingung, dilihat dari mana saja kok nggak hilang-hilang cakepnya...” yaah.

Mungkin seperti itu juga untuk kasus sahabat saya itu, dan juga kebanyakan umat muslim yang membaca ayat di atas. ”Kamu itu yang terbaik!” Wuih, siapa yang tidak jadi gede rasa dibuatnya, apalagi yang bilang adalah bukan sekedar sang pujaan hati, namun Sang Empunya Hati. Wajar kalau yang dibilang merasa wajib untuk berbangga.

Tapi agaknya, kita yang sedang disanjung ini perlu sejenak bersadar diri. Apa coba maksud Sang Penguasa melahirkan ungkapan pujian tadi? Sekedar rayuan gombal seperti kasus di atas? Mahasuci Allah dari tuduhan tercela itu!

”Namun, kalau bukan rayuan gombal, lalu apa namanya? Misalnya menyanjung seseorang paling cakep, padahal realitasnya.. na’udzubillah min dzalik” sergah seorang teman suatu ketika. Saya terdiam. Bibir saya jadi kelu. Saya terperosok dalam kenyataan pahit. Benarkah sanjungan ”you’re the best” itu? Padahal kala menengok ke dunia nyata tempat manusia berkubang dalam kehidupannya, nyatanya yang namanya umat islam selalu berada dalam kubangan lumpur terdalam....

Lalu kalau keadaannya demikian, maka pertanyaannya pantaskah kita menyandang gelar kehormatan ”the best ummah”? Karena bagaimanapun gelar yang terbaik tadi berlaku umum, tidak khusus pada bidang tertentu. Allah tidak mengatakan ”Kamu adalah umat yang terbaik dalam bidang ibadah” atau ”Kamu adalah umat yang terbaik dalam bidang ekonomi” Tidak! Allah hanya bilang ”Kamu adalah umat yang terbaik” itu saja. Konsekuensinya, harusnya kita adalah yang terbaik di segala lini.

Lama saya dalam kontemplasi. Bilik hati berontak. Realitasnya memang begitu, namun Ya Allah! Masa kita menafikan sebuah pernyataan Allah. Mahabenar Allah dalam segenap firman-Nya. Allah Suci dari sifat dusta, dan sang Khalik tidak akan mengeluarkan pernyataan ‘gombal’ yang sia-sia, cuma dengan tujuan sekedar menghibur umatnya.

***

Langit agak mendung sore itu. Terpaan angin sore membawa hawa berbau ranum dari tetumbuhan sekitar. Setting beralih ke sebuah mushalla kecil.
Ustadz berumur tigapuluhan itu, kulitnya putih bersih dengan senyuman bening yang selalu merekah dari bibirnya. Sesekali matanya memandang berkeliling ke arah kami.
“Antum tahu makna dari firman Allah ’Kuntum khairu ummah’ kalian adalah umat yang terbaik?“ ucap beliau dengan sesungging senyum.
Sekelebat memori saya terbangun. Permasalahan itu sudah terpendam tahunan dalam alam pikiran, tanpa berhasil terjawab, selain rekaan yang saya bangun sendiri. Dan saat itu... Eureka!!
“Aaah, masa sih kita pantes dapat predikat itu. Ibarat jauh panggang dari api. Antum tahu sendiri laah bagaimana terpuruknya umat islam ini” lanjut beliau.
“Namun, nggak mungkin Allah bohong. Lalu kenapa sepertinya ayat di atas nggak nyambung?” tanya beliau. Satu per satu kami mencoba berpendapat, asal. Setiap jawaban dari kami hanya dihadiahi beliau dengan senyuman simpul.

“Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Mari kita baca kembali ayat Ali Imran 110 tadi. ’Kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah…

”Ayat tersebut jangan dibaca sepenggal sampai ’kuntum khairu ummah’ aja. Ada lanjutannya.... dan lanjutannya inilah yang penting. Ibaratnya Allah berkata: kamu adalah yang terbaik, tapi dengan syarat... nah syaratnya tadi ada di lanjutan ayat .... asalkan kamu menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.. Jadi ada tiga syarat yang mesti kita penuhi. Nah, pertanyaannya, apakah benar ummat ini sudah memenuhi tiga syarat tadi. Kalau belum, hmm jangan bangga dulu dengan pujian di awal ayat...”

Hahaha... saya tertawa sendiri dalam hati. Perumpamaannya sama seperti anak kecil yang dipuji oleh gurunya “Kamu itu paling pinter,.... asalkan kamu rajin belajar” Namun dia hanya menangkap kalimat yang awal, kemudian dengan angkuhnya dia berujar kepada setiap teman yang ditemuinya “Aku ini paling pintar di antara kalian, ini kata guru langsung lho..” Akan tetapi, dia tidak pernah mau belajar. Maka wajar kalau endingnya bisa kita tebak, dia ada di jejeran terakhir peringkat di kelas. Yang salah siapa? Bukan gurunya, toh!
Ali Imran 110 adalah ayat yang luar biasa. Ayat ini bukan ayat sanjungan biasa. Ini adalah ayat motivasi, yang seharusnya mendidihkan semangat orang yang membacanya. ”Kamu adalah umat terbaik!” kala ternyata realitasnya malah berbalik, maka ini adalah tamparan yang teramat keras ke wajah kita. Pembenaran firman Allah sejatinya bukan hanya di lisan, namun lebih ke tindak laku perbuatan. Ketika Allah menyatakan kita sebagai umat yang terbaik, maka wajib hukumnya untuk mewujudkannya. Bukan sebaliknya malah pasrah dengan keadaan yang menghampiri.

Allah Maha Memberi Petunjuk, dalam ayat yang sama Allah langsung menunjukkan tips-tipsnya...
Jadilah senantiasa menyeru kepada yang ma’ruf
Jadilah senantiasa mencegah segenap kemunkaran
Dan..
Jadilah senantiasa mengimani Allah ’Ajja wa jalla.

Lalu sudahkah kita menjadikan setiap getar nadi kita untuk menyeru kepada yang ma’ruf. Telah beranikah kita mencegah kemunkaran hingga ke akarnya, yang begitu berlenggang di hadapan mata kita sendiri. Dan lebih dari itu telahkah kita betul-betul mewujudkan iman kita, sedangkan kita masih pilih kasih dengan sebagian perintahnya, sedangkan sebagian ayatnya kita terima, sedangkan sebagian yang lain kita abaikan, dibuang ke tempat sampah!
Hmmm...
Kepala saya hanya bisa tertunduk...        

10/21/2012

Menyambung Jejakmu...

Follow the tales

Mencoba mempelesetkan judul lagu yang sempat dihitskan oleh Peter Pan. Bila Ariel berusaha “menghapus jejakmu” maka upaya dakwah yang kita jalani adalah sebaliknya, yakni “menyambung jejakmu”.
Ini sisi manis yang pertama. Ibarat sebuah hidangan, maka sematan sebagai ‘sang penyambung jejakmu’ adalah hidangan pembuka yang membuat ngiler penikmat hidangan.


Kenapa? Karena sesungguhnya ini adalah gelar kehormatan. ‘–mu’ disini disandarkan kepada tokoh-tokoh terpilih. ‘-mu’ yang kita sambung jejaknya adalah tokoh-tokoh kaliber terpenting dunia akhirat. Di jajaran teratas terdapat nama nabi dan rasul terpilih dari nabi Adam hingga ke junjungan kita nabi Muhammad. Menyusul kemudian nama-nama besar seperti Abu Bakar, Umar, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah. Menyusul pula nama Hasan AlBashri, Imam Syafii, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim AlJauziyyah. Terus hingga ke Hasan AlBanna, Sayyid Quthb, Taqiyuddin AnNabhani, Abdul Qadim Zallum. Terus hingga ke HOS Tjokroaminoto, A Hassan, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Rahmat Abdullah……


Banggakah anda bila nama anda disejajarkan dalam satu kertas bersama tokoh-tokoh itu? Lebih bangga lagi bila yang ‘menuliskannya’ adalah Dzat Maha Mulia dan Maha Memuliakan! Kita, mungkin tak bisa mensejajari keluarbiasaan ibadah dan menakjubkannya keshalehan mereka. Tapi minimal kita mensejajari mereka dalam ‘list’ orang-orang yang menyambung jejak risalah Rabb-Nya di muka bumi
Penyambung jejak. Karena sejatinya dakwah ini adalah sebuah rantai pesan. Bersumberkan dari Allah di Sidratul Muntaha ke Jibril menuju Rasul pilihannya diestafetkan kepada orang-orang yang tentu juga merupakan pilihanNya diestafetkan lagi terus… dan terus… dan entah sampai kemana ujungnya.
Orang pilihanNya, bagian dari rantai pesan ilahi…. Tentunya ini adalah prestise yang tidak ada bandingnya. Gelar kehormatan yang tak terbandingkan jauh melampaui sematan bintang lima di ketentaraan, atau gelar professor di akademik…


sematan gelar da’i… ini adalah manis pertama… yang bagi anda pemburu penghargaan dan prestise maka jenis gelar penghargaan ini tak boleh terlewatkan.  Disematkan langsung oleh Sang Pencipta, disaksikan oleh alumni-alumni para nabi, rasul dan tokoh-tokoh terbaik.
…Benar-benar muantepp! Semangat kawan2!

Karena Aku Sayang Padamu...


Kalau kau benar-benar sayang padaku….
Kalau kau benar-benar cinta
Tak perlu kau katakan semua itu
Cukup tingkah laku

Semua bisa bilang sayang....
Semua bisa bilang
Apalah artinya sayang...
Tanpa kenyataan...

Jutaan kata tanpa makna, gubahan puisi manapun akan layaknya fatamorgana saja bila itu hanya hiasan bibir. Bila engkau memang cinta, bila engkau memang sayang, maka buktikan!
Engkau menyayangi sang kekasih, engkau menyayangi keluarga, engkau menyayangi sahabat, jangan biarkan rasa sayang itu hanya menjadi abstrak berupa pautan hati, atau menjadi semu dan hilang begitu saja dari mulut. Jadikan rasa cinta, kasih, sayang itu nyata dengan laku perbuatan.


***
Suatu ketika seorang bocah merangkak pelan menuju tungku api. Sang Ibu yang kebetulan melihatnya menyerunya untuk segera menjauh. Namun sang bocah tak menghiraukan. Dia terus saja merangkak. Sang ibu berteriak dan membentak keras. Namun si bocah tetap merangkak menuju tungku api. Maka tak ada cara lain, si ibu lalu merenggutnya dengan kasar. Si bocah meronta menangis tidak terima dengan perlakuan sang ibu. Namun si Ibu tetap bersikeras, bahkan kalau perlu menampar anaknya tadi supaya menuruti keinginan dia.
***

Persis seperti kisah di atas. Bahwa seringkali ujud kasih sayang itu tidak selalu berupa tingkah laku manis, rayuan gombal atau suasana penuh keromantisan. Seringkali malah berasa pedih dan pahit. Namun pahitnya berujung manis dan pedihnya lambat laun berakhir bahagia. Bocah yang sedang menuju tungku api... maka apa tindakan yang tepat? Patutkah orang yang mengaku sayang pada bocah itu membiarkannya terus merangkak atau malah menyoraki supaya lebih cepat merangkaknya? Jelas kita sepakat mereka yang mendukung dan membiarkan itu adalah kategori orang-orang yang sangat jahat.


Lalu apa tindakan yang tepat? Teriaki dan segera cegah sebelum si bocah keburu terbakar. Apa komentar anda pada tindakan barusan? Wajar! Siapa pun yang masih punya hati pasti tidak tega melihat sang bocah terbakar sia-sia. Apalagi si Ibu dimana sang bocah adalah buah hatinya. Tentunya dengan segenap usaha dicegahnya, dia akan berlari kencang untuk menyelamatkan kesayangannya itu.
Si bocah pun berteriak meronta mencaci ibunya. Kenapa ibu menghalangi keinginannya? Ibu kejam! Ronta si bocah.


Senyum mengembang dari sang ibu tak peduli dengan makian si bocah. Nggak apa-apa, dia memaki seperti ini karena dia tidak tahu..... batin sang ibu.
Persis hal yang sama terjadi dalam dakwah. Para da’i layaknya seseorang yang berteriak mencegah bocah yang sedang menuju tungku api. Dia, karena cintanya tidak akan pernah tega membiarkan saudara-saudaranya terbakar sia-sia dalam ’tungku api’. Dan dengan cinta tadi maka segenap upaya dilakukan untuk menyelamatkan saudaranya tadi. Walau pada akhirnya bahkan cacian, makian, atau siksaan yang dia peroleh... namun di bibir para pendekar terukir senyum yang terkembang.. Nggak apa-apa... mereka seperti ini karena mereka belum tahu....


Yap, tersenyum bangga. Karena sesungguhnya kita melakukan itu karena rasa cinta....
Dakwah adalah tanda cinta. Dakwah adalah ungkapan kasih sayang yang hakiki.
Sehingga para pendekar dakwah sesungguhnya adalah para pencinta sejati.
”Kami sayang kepada saudara kami, keluarga kami, sahabat kami” ungkap para pencinta. ”Maka tak akan kami biarkan mereka ’merangkak menuju tungku api’” tekadnya
Ketika saudara kita melakukan maksiat, menyimpang dari rel-rel hukum syara maka apa ungkapan sayang kita kepada mereka? Apakah membiarkan atau malah mendukung? Tidak, bahkan itu tindakan yang sangat kejam! Membiarkan mereka menuju adzab neraka yang membakar...


Yang dalam satu hadits riwayat Tirmidzi Rasulullah menggambarkan bahwa Adzab teringan di neraka pada hari kiamat, adalah laki-laki yang di kedua kakinya ada dua butir bara api yang dapat mendidihkan otak. Woiii! Itu adzab teringan woiii! Maka bergidiklah kita, na’udzubillah! Sedetik pun tak ingin diri ini berada di sana.


Lalu bagaimana dengan saudara kita, keluarga kita? Nah, hanya orang egois yang mau membiarkan saudaranya terjebak di dalam sana.
Justru karena sayangnya kita, sudah sepantasnya kita cegah sekuat tenaga, semampu daya kita. Seolah kita meneriakkan warning ’Bahaya!’ jangan mau ke sana!
Walaupun realita menujukkan si penyeru malah seringkali dihadiahi cibiran benci, makian kasar, atau bahkan pukulan, cambukan, siksa penjara.... tapi ya... nggak apa-apa, ini karena sayang....

“Siapa saja diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka ubahlah dengan lidahnya. Kalau juga tidak sanggup maka dengan hatinya. Ini adalah selemah-lemah iman(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dari Abi Said al-Khudry)

Mengubah di sini adalah bagaikan menyirami tanaman yang terancam layu. Mengguyurnya dengan segenap cara, memotong-motong bagiannya yang mengganggu. Namun semua itu sekali lagi demi rasa sayang... keinginan kita agar tanaman itu berbuah berbunga.

Karena sayang
Aku tak ingin saudaraku terjatuh dalam kubangan adzab api neraka yang panasnya tak terperikan,
Justru karena aku sayang padamu,
Maka yang kuinginkan adalah kita beromansa bersama nantinya dalam keindahan taman-taman surga.
Begitu lagu yang didendangkan dari lidah para dai si penyayang....