Rabu, 10 januari 2018. Hari sidang pelepasan koass adalah
sebuah hari yang layak dikenang. Teruntuk sebagian kawan2 yang sudah diambang
kepenatan dalam menjalani hari-harinya dalam dunia persilatan koass dan sebagai
perayaan bagi kami yang dalam penantian masa tua. Berbagai macam kalimat bijak
dan lantunan syukur dihadiratkan untuk sebuah hari itu. Ada kawan-kawan yang
tertawa bahagia, menangis haru, ada pula yang menganggapnya biasa-biasa saja.
Aku termasuk
yang menanggapinya biasa-biasa saja. Entahlah, semakin dewasa kita, mungkin
pandangan kita terhadap sesuatu akan terus berbeda dari sebelumnya. Ini tidak seperti
saat aku masih MTsN dlu. Setiap waktu pembagian rapor, begitu antusiasnya
diriku menunggunya. Berharap-harap cemas untuk dijadikan 10 besar dalam ranking
kelas. Ini juga tidak seperti saat pengumuman SNMPTN dulu, begitu anxietasnya
diri ini tatkala koran banjarmasin post menerbitkan daftar peserta yang lulus
dalam seleksi.
Bagiku, kita
ini tak lain ialah kumpulan hari.. Yang setiap melewatinya, kian hilang
sebagian dari diri. Pagi dan petang akan selalu sama, yang membedakannya adalah
bagaimana cara kita menyambutnya, pun juga menjalaninya.. Hari-hari yang kita
lalui tidak akan ada pengaruhnya terhadap dunia dan seisinya. Semesta akan
tetap berjalan pada suratannya. Hari yang kita anggap adalah hari yang paling
membahagiakan, mungkin bagi sebahagian orang justru terasa menyedihkan. Saat
hari-hari kita berbunga-bunga karena cinta, disudut lain dunia ialah kelam
penuh derita. Sebaliknya, saat kita anggap hari-hari kita penuh kidung duka,
orang lain mungkin sedang berbahagia dengan cita-citanya. Oleh karenanya, hari
itu, aku tidak ingin terlalu bahagia. Karena kusadari, “hari ini pun juga,
pasti akan terlewati...”
Mungkin selaras dengan perasaanku
dihari itu, ibu menyambut kedatanganku hanya dengan pertanyaan, “darimana saja
nizar? koq lama”. Pertanyaan familiar yang sering ia ucapkan kepadaku, tidak
ada yang istimewa. Dulu, ibunda sering menanyakan bagaimana nilaiku dihari2 spesial
seperti itu. Pertanyaan tentang apakah semuanya baik2 saja, berjalan dengan
semestinya dsb. Kupikir semakin kesini, apa yang ia harapkan padaku bukan
tentang posisi, ranking, atau harta. Namun, lebih kepada seberapa berguna aku
untuk keluarga. Saat melihatnya tersenyum pabila aku menemani ayah menjalani
pengobatan, saat melihatnya berbunga-bunga tatkala aku membantu persalinan ‘acil’
ku (a.k.a tante) , ia merasa lega bila aku semakin berguna bagi sesama. Lalu
aku menyadari bahwa ini yang menjadikan hari-hariku lebih berarti. Dan ini
menjadi sebuah jawaban atas pertanyaanku selama ini, “Mengapa aku ingin menjadi
dokter?”
Aku pun juga adalah orang yang tidak
terlalu peduli dengan capaian orang lain. Aku tidak akan ambil pusing tentang
seberapa kaya/suksesnya kawan2 yang telah mendahuluiku. Atau seberapa
bahagianya kehidupan bertetangga kawan2 yang sudah menikah mendahuluiku. Toh,
bukankah hari-hari yang seperti itu kelak akan kita alami juga? dan seperti
biasanya, ketika dalam puncaknya, kita akan merasa biasa-biasa saja. Hanya
mungkin, saat ini belum mendapati jalannya. Tentang siapa yang lebih dlu? menjadi
sebuah pertanyaan lagi, apakah itu layak untuk diperlombakan?
Aku justru sangat iri dengan
orang-orang yang mampu menghabiskan kesehariannya menjadi sebuah kenangan berarti
bagi orang lain. Bahkan, saat ia tiada, kehadirannya tetaplah harum atas
jasa2nya. Aku iri dengan para ulama yang namanya terus disebut hingga saat ini.
Aku iri dengan para guru-guruku yang ilmunya masih berguna sampai kini. Aku iri
dengan dokter-dokter konsulenku, yang kehadirannya begitu diharapkan puluhan muridnya,
dan kealpaannnya menjadi sebuah kerinduan bagi pasien-pasiennya. Aku ingin seperti
itu... Yang hidup di dunia bukan hanya sekedar menjalani hari-harinya dengan
biasa saja, namun berlomba-lomba dalam kebaikan, ketaqwaan, dan kebermanfaatan
bagi sesama.
Menulis, diiringi dengan music dari arctic empire –CMA “Forever
in my heart”
dan kozoro, “Thank You”
Kamis, 11 januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar