Foto yang kalian lihat adalah foto ayah saya. Drs. H.
Bahruddin, M.Pd.I ketua Dewan Pengawas Departemen Agama Banjarmasin. Akhir2 ini
saya cukup mengkhawatirkannya, terutama kesehatannya. Sepekan yang lalu beliau
didiagnosis menderita kanker nasofaring. Kanker terganas di bidang THT, yang
kalo menurut teori di buku sih survival ratenya 5 tahun. Saya sih berharap
bukan demikian, semoga beliau dipanjangkan umur hingga menjumpai saya ketika
lulus menjadi dokter, punya istri yang pas, dan menjadi da’i muda penerus
keluarga. Bahkan saya sangat berharap nanti bisa mengajak beliau ke Mesir atau
Yaman untuk berdiam disana selama saya berjuang menuntut ilmu agama.
Kali ini saya ingin menuliskan tentang ayahanda. Bukan apa2,
hanya saja, semoga tulisan saya ini nanti bisa mengingatkan saya betapa
berharganya punya seorang pemimpin keluarga yang bijaksana. Ayahanda, sosok
disiplin dalam agama. Pemimpin keluarga yang sangat bertanggung jawab. Seorang
pejuang dakwah yang bergerak dibalik layar. Saya pribadi sangat menghormatinya.
Sejak kecil beliau adalah panutan saya dalam berpijak. Sebagai seorang lelaki
sejati dan imam keluarga beliau merupakan teladan saya. Tentu saja Rasulullah
SAW adalah uswatun hasanah (mohon jgn berpikiran macam2), tapi bagi seorang
anak, keberadaan seorang ayah menjadi lebih berarti dalam kehidupannya, apalagi
masa silamnya.
Orang bilang saya sekarang sangat mirip dengan ayah. Bahkan
sampai kehidupan kami pun cukup mirip. Gaya berpikir, penampilan, karisma dan
ketampanan (ya elah.. hhah). Just kidding fren.. Kenapa seperti itu? Entahlah,
dari kecil saya sangat ingin mencontoh ayah dan membuktikan padanya bahwa saya
lebih hebat darinya. Namun sampai sekarang entah kenapa saya belum bisa2
menggapainya, ujung2nya saya seolah prototype yang gagal, hha. Bayangkan, ayahanda
ketika menjadi pemimpin keluarga bisa menjadi apa saja (multi talent), beliau
bisa jadi montir, tukang listrik, tukang kayu, mekanik, pokoknya serba bisa.
Belum lagi keilmuannya di bidang agama, meski saya pikir keilmuan saya lebih maju
di masa sekarang, hhe (soalnya dlu beliau jarang ketemu masalah khilafiyah
umat), tapi utk beberapa hal saya rasa beliau jauh lebih expert. Yang paling
membuat saya kagum adalah kedisiplinannya dalam beribadah dan semangatnya utk
meramaikan dakwah Islam kepada kawan2nya di Departemen Agama.
Beliau sangat disiplin dalam menjaga waktu shalat
berjama’ah. Sejak saya akil baligh hingga sekarang hampir 100% beliau selalu
shalat berjama’ah di mesjid atau mushola. Jika kawan2 kebetulan singgah di
Mesjid Al-Mu’minin Komplek Kenanga (rumah saya) kawan2 bisa bertemu ayahanda
yang sering sekali menjadi imam shalat jama’ah disana, (kecuali jika beliau
berhalangan). Makanya sering sekali saya dibuat takjub oleh perbuatannya.
Beliau mencontohkan, bukan memerintah. Seperti itulah seharusnya sosok seorang
ayah, TALK LESS DO MORE! Asseek… Dalam hal ini sangat berbeda jauh dengan saya,
yang banyak bicara tapi sedikit melakukan, ahh.. Maaf kawan…
Tahukah kawan, dulu sebelum masuk Universitas Islam,
ayahanda punya kehidupan yang mirip dengan saya. Dua tahun sebelumnya beliau
kuliah di jurusan Bahasa Inggris. Bedanya, jika saya seolah2 ditakdirkan
setelah 2 tahun pindah ke kedokteran, beliau bermasalah di perkuliahan karena
permasalahan keuangan. Ya.. beliau kuliah sambil kerja. Selama dua tahun dia
berusaha mencari nafkah sebagai sopir angkot, beternak ayam, hingga membuka
bengkel kecil2an. Hal itu beliau lakukan karena ingin membantu keluarga &
empat orang adiknya yang basicnya kurang mampu.
Kehidupan percintaan, hhe. Biar saya ceritakan sedikit.
Konon katanya kisah cinta ayahanda dan ibunda mirip kaya sinetron layar lebar,
Wuih… Salahlah orang mengira bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama
dan rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas perasaan, dan jika tunas ini
tumbuh sesaat, ia tak lagi tumbuh bertahun2 atau bahkan dari generasi ke
generasi. Seperti itulah kedua pasangan itu, mereka yang bertemu sekian waktu
telah menghadirkan ikatan yang kuat. Ikatan yang bahkan tak lekang oleh
hambatan perjodohan. Iya.. Perjodohan?
Ibunda yang sama2 berada di Universitas Islam dengan ayah
dulunya juga berasal dari keluarga kurang mampu. Penuh perjuangan membantu
keluarga & empat orang adiknya (sama kan? aneh ya..). Yang namanya jodoh
tidak bisa ditebak, “Laki2 yg baik utk wanita yg baik, dan sebaliknya”,
sepertinya suratan jodoh memang akan seperti itu. Niat ibunda ingin memberikan
kehidupan yang layak utk adik2nya, makanya ia rela dijodohkan dengan lelaki
yang cukup kaya. Hanya saja, waktu itu ayah sudah terlanjur memendam rasa, maka
ia memperjuangkan, tak peduli halau rintangan. Alhasil, berbagai macam trik ia
lakukan (yang tak perlu saya kisahkan disini) dan Eureka! luluhlah hati sang
ibunda. Terkagum dengan usahanya yang serius utk menjadi imam keluarga. Cieee..
Plok! Plok! Plok!
Kriteria ayah terhadap seorang wanita saya rasa cukup ideal,
tidak berbelit dan simpel. Beliau bilang carilah wanita dari universitas Islam,
bersifat qona’ah, dan bisa memasak. Nah, simpel bukan? Saya pikir kriteria itu
nantinya bisa dipakai kembali. Rencananya sih saya maunya nanti nyari pasangan
di Universitas Al-Azhar, Mesir atau Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Wah.. berat
ya? Hhaha, tapi tidak mutlak begitu, setidaknya wanita tersebut cukup taulah
tentang agama, dan yang paling penting bisa ngaji. Klo sifat qona’ah saya rasa
bisa diketahui dari latar belakang keluarganya. Untuk keluarga yang hidupnya
sedang2 aja, semoga nantinya rela terbiasa hidup dengan saya dikala senang
& susah. Memasak? sebetulnya saya bisa saja masak sendiri, hanya saja kata
seorang lelaki (tak sebut nama), rasa masakan seorang istri kadang mampu menggambarkan
kasih sayangnya terhadap suami. Hmm.. Patut dicoba.
Dalam mendidik anak, ayah betul2 menunjukkan perannya.
Ibunda bilang ayah membuat perjanjian dulu sewaktu saya kecil untuk perannya
dikeluarga. Beliau rela dijadikan sosok antagonis (perspektif anak kecil) dan
ibunda memainkan peran sebagai yang mengasihi dan menyayangi. Makanya waktu
kecil saya cukup kesal dengan ayah karena sikapnya yang sangat tegas dan disiplin.
Beliau tak pernah meladeni permintaan saya seperti membelikan mainan, robot2an,
petasan dsb, dan saat bisa membelinya pun justru saya di ceramahi. Beliau juga
tidak segan2 memukul saya jika saya tidak shalat atau berbuat nakal. Terlebih
lagi, satu kali pun saya tak pernah dapat pujian darinya saat saya berprestasi,
kecuali di bidang agama. Ya.. jika itu tentang agama beliau sangat senang, saya
masih ingat pujiannya dulu ketika saya bisa membaca Al-Qur’an dengan baik.
Sebaliknya, meski saya ranking 1 di satu Madrasah pun atau mendapat NEM
tertinggi beliau hanya bilang utk tidak meremehkan masa depan. Ayahanda lah orang
yang mendidik saya menjadi pribadi yang peduli terhadap agama. Beliau betul2
mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan agama. Beliau sekolahkan saya di
pendidikan Al-Qur’an, tsanawiyah, bahkan beliau ingin sekali memasukkan saya
dulu di Madrasah Aliyah dan Universitas Islam, tapi saya menolaknya, maafkan
saya ayah..
Saat dewasa barulah saya sadar bahwa seorang ayah memang
harus seperti itu. Ia mesti bersikap tegas layaknya komandan pasukan. Memberi
hukuman terhadap kesalahan, dan memberi apresiasi untuk prestasi. Jika seorang
anak tidak diperlakukan demikian, maka ia akan berubah menjadi pribadi manja
dan tidak menaruh hormat pada pemimpinnya. Sebetulnya saya pun tau sebuah
rahasia yang diceritakan ibunda. Meski tak diungkapkannya, seringkali ayah
membanggakan saya dihadapan kawan2nya. Ia selalu mendukung saya dibelakang kala
memasuki SMA (yang katanya SMA favorit di bjm), ia memuji saya saat berprestasi
di ranking 10 besar, dan ia sangat bangga kala saya kuliah di kedokteran.
Ibunda dan beberapa kawannya bilang seperti itu. Begitulah…, ada sesuatu yang
lebih agung daripada yang diutarakan oleh mulut. Saya mengerti perasaannya, tanpa
beliau katakan pun saya merasakan kasih sayangnya, kecenderungan hati, dan
tumpuan harapannya. Karena pada dasarnya, saya mirip dengannya.
“Rabbighfir lii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii
saghiiro”. Rabbi, semoga selalu Engkau jaga ayahanda dan ibunda.
Saya sebetulnya tidak perlu bersedih hati dan khawatir, tersadar
dibelahan bumi Palestina kian banyak orang menyaksikan keluarga tersayang dan
karib kerabat mereka dibantai. Miris melihatnya, karena kali ini saya benar2
merasakan bagaimana hancurnya jiwa tatkala orang yang kita sayangi pergi. Lucunya,
tidak ada yang bisa kita lakukan selain aksi solidaritas dan mendo’akan mereka.
Termasuk saya, kadang saya berharap diberikan kekuatan Super Saiyya agar dengan
satu tembakan “Kamehameha”, saya mampu meluluhlantakkan tanah2 musuh agama
Allah. Atau setidaknya secara ilmiah saya diberikan petunjuk utk mengembangkan
Virus Ebola lalu menjadikannya wabah di lingkungan mereka. Kejam banget bukan? Soalnya
kali ini saya benar2 kesal. Laa hawla walaa quwwata illa billah, namun faktanya
tiada daya dan upaya yg bisa saya lakukan sekarang sebagai tindakan nyata. Untuk
sekarang, saya pikir kita harus lebih menghargai hidup, gunakan umur2 terakhir
kita untuk tindakan nyata untuk dunia. Semoga di masa depan kita mampu
memberikan solusi, bukan hanya janji.
Saya? sudah saya bilang akan fokus dlm menuntut ilmu syari’ah
dan kedokteran. Berharap di kedua bidang ini nantinya saya berguna utk sesama.
Seperti para ulama dulu membangkitkan semangat umat lewat dakwah mereka yang
mulia. Seperti Ibnu Sina, yang memberikan terobosan2 di bidang medis. Selamatkan
Palestina dan Negara Islam lainnya dengan segala usaha yg bisa kita lakukan
sekarang! Jangan sia2 kan hidupmu kawan, karena hidup sangatlah berarti bagi
orang2 yang mengerti..
-Malam minggu-
Diiringi instrument editan sendiri, “To the Hope”
http://www.4shared.com/mp3/z_UzbgXh/To_the_Hope.html
dan "We will not go down (GAZA)-Michael Heart"