About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

12/29/2015

Ikatan Janji

            SMA (Sekolah Menengah Atas), seingat Fauzi umurnya saat itu menjelang 18 tahun. Bulan itu adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang selalu ditunggu-tunggu umat muslim. Bulan ketika Al-Qur’an dulu diturunkan untuk insan yang terbaik akhlaknya dan malam seribu bulan dihadirkan kepada orang-orang pilihan-Nya. Bulan dimana dosa-dosa manusia terampuni bila ia sungguh bertaubat, dan semua amalan dijanjikan berlipat ganda nilainya. Maka semua manusia berlomba-lomba untuk mengejarnya, tanpa terabaikan pula Fauzi. Ia menantikannya dan sungguh merindukannya.
         Sebuah anugerah atau cobaan, di bulan itu cinta kembali hadir dan menyentuh selubung hati Fauzi. Cinta yang seperti cahaya, ditulis dengan tangan cahaya, terpatrikan diatas lembaran cahaya. Cahaya itu melenyapkan kabut memorinya tentang keraguan hati. Tatkala banyak wanita yang dapat meminjam hati pria, Ia tidak semurah itu. Hanya sedikit yang memilikinya, merekalah ibu dan keluarga terkasih kebanggaan. Namun di bulan itu, seorang wanita merenggutnya. Membuat hidup dan kesendirian Fauzi, penuh dengan ingatan. Sebuah ingatan tentang janji yang terikat. Janji yang mampu membiaskan impian dan harapan. Berkali-kali ia bertahan dan berusaha menjalaninya. Bahkan, bila ketidakberdayaan menghampiri, ia mencoba melawannya sepenuh hati.
          Ramadhan, kira-kira awal Oktober tahun 2010. Beberapa bulan setelah itu adalah akhir dari semester ganjil. Semester depannya merupakan tantangan yang paling mendebarkan dikalangan siswa SMA. Fauzi akan menghadapi ujian nasional dan ujian tulis penentu masa depan bangku perkuliahan, SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sebelum akhir pekannya akan dipenuhi dengan “penganiayaan”, alias pengayaan belajar. Sebelum masa depannya akan dipertaruhkan dengan kerja keras dan do’a. Sebelum masa-masa itu, ia dan kawan-kawan rohis SMA-nya menghabiskan akhir bulan Ramadhan kali itu dengan kegiatan yang menarik dan penuh berkah. Tersebutlah “Pesantren Ramadhan Nasional”, momentum pertemuan Fauzi dengan wanita itu.
       Pesantren Ramadhan nasional adalah pesantren yang diadakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia tingkat pusat. Pesantren tersebut menghadirkan seluruh siswa yang terdaftar sebagai organisasi kerohanian Islam dari seluruh provinsi. Kebetulan saat itu sekolah Fauzi termasuk sekolah yang terpilih untuk mewakili Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan, siswa rohis yang diminta untuk mengikuti kegiatan tersebut adalah siswa yang menjabat sebagai badan inti organisasi. Itulah ia, Razi, dan teman perempuannya (rohis akhwat).
           Penginapan mereka bertempat di salah satu asrama kampus Universitas Islam Negeri Malang. Kamar laki-laki dan perempuan letaknya terpisah. Waktu itu Fauzi sekamar dengan Razi, dan dua orang siswa asal Banjarbaru. Mereka pun saling berkenalan, bercengkrama dan bercerita tentang kesibukan sekolah juga kesehariannya. Layaknya anak burung yang baru lepas bebas menyaksikan keindahan langit dan ladang, percakapan hangat telah membuat mereka seolah terbang lapang dan menciptakan dekapan rasa kasih, persahabatan, dan angan-angan. Hanya dalam satu malam, pertemanan mereka berempat menjadi begitu dekat.
           Kegiatan para santri layaknya pada pesantren Ramadhan umumnya. Mereka semua diminta mengikuti seluruh rangkaian acara dari sahur bersama, shalat wajib berjama’ah, shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, diskusi kelompok, seminar, hingga kunjungan lapangan. Buka puasa bersama termasuk hal yang paling ditunggu oleh semua santri. Suasana kebersamaan yang menghebohkan dan sajian makanannya  yang berlimpah. Itu adalah pemuas dahaga paling nikmat dipuncak kelelahan dan hadiah kebaikan sunnah untuk puasa di bulan Ramadhan.       


             Fauzi adalah orang yang paling mengingat momen itu. Tepat saat waktu maghrib tiba, para santri bergegas menuju mushola. Di lorong jalan, matanya melirik ke arah dua orang yang berbincang pelan. Mata Fauzi yang rabun jauh membuatnya samar-samar terlihat.
         Satu detik selanjutnya, mereka berpapasan.  Ia lihat wajah seorang wanita yang bersinar, dan terlahirlah perasaan yang membuat sanubari bergetar. Raut wajah dan kecantikan paras wanita itu benar-benar membuatnya jatuh dalam lamunan.
     Wanita itu layaknya surya yang menuntun bayang-bayang pepohonan. Menyinari gelapnya pikiran Fauzi tentang wanita zaman sekarang. Seakan tidak percaya bila ada wanita seperti itu, ia dengan jilbab syar’inya membekukan langkah kaki Fauzi. Maka terbuktilah pepatah lama, “dari mata turun ke hati”. Dua insan telah dipertemukan untuk menemukan kebenaran tentang sudut lain dunia. Seseorang tidak bisa berucap, tetapi wanita itu memahaminya. Ia membalas Fauzi dengan senyuman. Sebentuk usapan kepada jiwa yang kosong. Sangat teduh, bahkan awan tidak seteduh tatapannya detik itu.
        Dalam sunyi, Fauzi mencoba bersuara lirih, “Assalamu’alaikum...”. Lalu wanita itu dengan lembut membalasnya, “Wa’alaikumussalam, dari Banjarmasin ya?”. “Eh, i..iya, dari Banjarmasin, kenapa?” ucap Fauzi kikuk. “Saya dari banjarbaru...” ungkapnya. Lalu wanita itu pergi dengan tawa yang manis bersama temannya. Fauzi tidak sempat mengucapkan beberapa patah kata lagi. Namun saat itu, jiwanya memahami arti dari frasa yang orang ucapkan selama ini, “lingkaran hati”. Sebuah siklus pertemuan rasa, bahkan tanpa harus mengungkapnya, ataupun mengenalnya. Fauzi tidak tau bagaimana mengatakannya. Meskipun ia memahami rasa itu, ia tidak akan mampu menggapai maknanya. Selamanya akan samar terbungkus oleh kata dan tidak akan bisa tertera dengan pena.
        Hal yang pertama kali dilakukan saat seseorang dalam suasana hati seperti itu tentulah mencari informasi yang akurat. Rasa penasaran menyelimuti benak pikirannya. Fauzi pun memberanikan diri untuk bertanya tentang wanita itu kepada santri lain, tentang nama lengkapnya, sekolahnya, dan dimana ia tinggal. Hingga tercukupilah segala hasrat dalam diri Fauzi setelah mengetahui dimana wanita itu berada. Sebuah SMA di kota Banjarbaru. SMA yang terkenal dengan nuansa agamanya, asramanya, biayanya yang cukup tinggi, dan betapa bahagianya dirinya saat mengetahui bahwa wanita itu masih “jomblo”.
           Rangkaian kegiatan pesantren Ramadhan terus berlanjut, seminar dan diskusi akbar yang bertemakan isu-isu keislaman termasuk dalam susunan acaranya. Di dalam auditorium, seluruh santri diminta untuk berdiskusi dan memaparkan hasil diskusinya. Saat itu, keheningan berubah menjadi suasana menakjubkan. Disaat seluruh santri mencoba untuk unjuk diri, wanita itu kembali muncul dengan indahnya. Kehadirannya sanggup mematahkan segala kesombongan santri lain. Dibalik keanggunannya, wanita itu sungguh cerdas. Ia dengan kemampuan bahasa Arabnya, tidak disangka membuat seluruh lelaki di auditorium tidak akan bisa memejamkan mata, sungguh memesona.
      Fauzi tau bahwa dirinya bukanlah satu-satunya pria yang menyukai wanita itu, dan benarlah kekhawatiran Fauzi dikala mengetahui kawan karibnya sendiri juga menyimpan rasa terhadap wanita itu. Kawan yang juga ikut andil dalam pertemuan rohis se-Indonesia itu. Maka dalam kesempatannya pula, pria yang akrab disapa Razi itu, mengeluarkan kemampuan diskusinya. Razi berdiskusi dengan wanita itu dengan penuh tawa, di hadapan seluruh penonton, dengan kemampuan bahasa Arab yang mereka miliki.
          Razi, kawan yang sebangku dengan Fauzi di kelas II SMA. Ia seorang siswa yang Fauzi acungi jempol dalam hal pengetahuan agama. Meski dalam nilai pelajaran, ia kalah bersaing dengan Fauzi. Bila membahas persoalan agama, Fauzi begitu menghormatinya. Maka layaknya Ali radhiyallaahu ’anhu, sahabat Rasulullah SAW yang mengalah memperjuangkan hati Fatimah disaat Abu Bakar Ash-Shiddiq mempersuntingnya, Fauzi pun ingin demikian. Ia lebih memilih memendam rasa dan mempersilakan. Memilih untuk berdiri tegar, ketimbang memutus tali persahabatan. Terpikir olehnya saat itu, “Allah menjagaku rupanya..”. Sehingga berlalulah masa-masa itu, Razi dan wanita itu semakin dekat. Sedangkan Fauzi kian menjauh dari kenyataan, tersudutkan dalam dunia khayalan. Mencoba terbangun dari mimpi buruk yang sangatlah sulit untuk dilupakan.
       Selang beberapa bulan, wanita itu menyapa Fauzi lewat pesan media sosial. Ia tersenyum sejenak, karena jauh dilubuk hatinya, masih terukir nama wanita itu. Ia menanyakan kabar Fauzi, bagaimana keadaannya, dan suasana sekolah yang mendekati ujian. Meski beberapa lama wanita itu menghilang keberadaannya, saat itu, Fauzi merasakan kehadirannya. Percakapan kedua insan ini kian memanjang, bahkan dalam dunia fatamorgana, pertemuan hati yang lama tidak berjumpa akan selalu menyenangkan. Fauzi mencari cara untuk menanyakan hubungan wanita itu dengan Razi. Lalu, lenyaplah kemelut jiwanya waktu wanita itu menuliskan, “Kami gak ada apa-apa, cuma temenan :)..”.
        Dalam hidup setiap anak muda, tentulah akan muncul cinta hakikinya, yang akan membawa hari-harinya kedalam musim semi penuh warna. Dalam relung pikiran Fauzi, ada banyak memori yang membekas tentang sosok wanita itu. Keindahan matanya, harum nafasnya, lembut tutur katanya, menunjukkan kepada diri Fauzi bahwa inilah bentuk keajaiban ciptaan. Kepribadiannya seperti mampu mengubah dunia yang begitu hampa. Karena dirinya, Fauzi telah memahami sebuah bentuk kerinduan. Bukanlah cantiknya yang Fauzi nanti, bukan pula senyumannya yang meluluhkan hati, tetapi ketulusan hatinya yang begitu memberi arti.
             Hari itu, Fauzi tidak akan pernah melupakannya. Hari dimana kedua jiwa disatukan dalam ikatan janji. Fauzi dan wanita itu sama-sama diam menunggu yang lain untuk berbicara. Namun, bicara bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengerti. Bukan hanya kata-kata yang keluar dari bibir dan lidah yang bisa menyatukan nurani. Keheningan menerangi jiwa mereka, bersama tiupan daun yang mengalir lembut, membawa ungkapan kata terasa diujung mata. Fauzi memberanikan diri dan bertanya, “Kalau sudah lulus SMA, kamu mau melanjutkan kemana?”
     

         Wanita itu menghadap ke langit, lalu ia bilang, “Aku tidak tau zi, selama ini kubiarkan hidupku mengalir seperti air, biarlah takdir membawa asa dan citaku dalam pilihan yang terbaik, kalau kamu mau kemana?”. Fauzi terdiam sejenak. Kata-kata yang diucapkan wanita itu telah memenjarakan angannya ditengah masa lalu dan masa depan. Seperti sebuah kapal yang menempatkan jangkarnya di tengah lautan. Kata-kata itu membangunkan tidur keremajaan Fauzi, dan menempatkan posisinya kelak di panggung dunia yang penuh pilihan.
            
             Fauzi tau bahwa wanita itu punya banyak talenta, meskipun ragu, Fauzi ingin membuat wanita itu tidak bias terhadap harapan. Fauzi berkata, “Jika seperti itu, kamu akan bimbang dengan cita-citamu, kamu harus memilih, seperti aku, aku punya keinginan untuk menjadi dokter”. Wanita itu tersenyum, “Begitukah? kalau gitu, aku juga mau jadi dokter, hihihi…” ucapnya lembut. “Loh, kok bisa? cepet banget mutusinnya?” Fauzi menertawakan kepolosan wanita itu. Meski begitu polos, ia benar-benar menyukai wanita itu. Tidak pernah sedikitpun ia menyombongkan diri di hadapan Fauzi. Untuk seseorang yang dipenuhi banyak talenta, Fauzi bukanlah apa-apa dibanding dirinya.
            Dua bulan berlalu, ujian nasional SMA begitu menegangkan, tidak sedikitpun Fauzi bergeming dalam kerja keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik dengan jujur dan tawakkal kepada Allah SWT. Lama tidak terhubung, wanita itu mengabarkan berita dengan penuh gembira. Ia berkata kepada Fauzi, bahwa ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama kota Banjarbaru untuk kuliah pendidikan dokter di salah satu universitas negeri pulau Jawa. “Aku pasti menyusulmu..” ucap Fauzi yakin. Hari itu, Fauzi berjanji dengan dirinya sendiri dan wanita itu bahwa ia akan lulus SNMPTN. Lalu, menggapai harapannya, untuk menjadi dokter.
      11 Mei 2011, Fauzi mengikuti seleksi tahap awal dalam SNMPTN. Pada lembaran kertasnya tertulis pilihan universitas yang ingin dimasuki. Dengan hikmatnya, Fauzi centang Fakultas Kedokteran di universitas wanita itu berada. Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Lambung Mangkurat di pilihan kedua, dan Program Studi Kesehatan Masyarakat di pilihan ketiga. Ujian pun berlangsung sangat ketat. Fokusnya tiada teralihkan meski harus berhadapan dengan ribuan pesaing lain.
           30 Juni 2011, tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Pengumuman hasil seleksi SNMPTN diberitahukan sore harinya lewat website dan media massa. Hari itu, hari yang kejam untuk seorang pemimpi seperti Fauzi. Ia harus menerima kenyataan bahwa harapan dan angannya telah sirna. Fauzi tidak mampu melihat apapun selain ruang kosong yang hampa dan tidak mendengar apapun kecuali teriakan kidung derita. Ketika mimpi-mimpi yang begitu indah telah terpenjara, kesedihan mulai datang menghampirinya.
       Kesedihan yang mengganjal hati Fauzi semakin dalam seiring bergulirnya hari. Kesedihan itu datang bukan karena ia tidak memperoleh hiburan. Jika karena itu, tentulah ia sangat mudah mendapatkannya. Kesedihan itu juga bukan lantaran ia kesepian, karena ia masih memiliki orang tua dan teman. Kesedihan itu disebabkan oleh suatu keputusasaan karena tidak mampu memenuhi permintaan dan janji. Keputusasaan yang membuat dirinya lari dari keramaian dan hiburan. Keputusasaan yang membuat diri Fauzi menghindari wanita itu dan keberadaannya. Keputusasaan itu kian menenggelamkan hari-harinya dalam samudera lautan yang suram. Lalu, berharap ada yang menolongnya untuk menemukan sebuah jalan keluar, dan membuatnya terlahir kembali dengan jiwa yang tegar.
        Menghadapi masa kelam, andaikan wanita itu datang menemani, mungkin kesedihannya tidak akan berarti. Saat itu, Fauzi tidak tau kebenaran apa yang akan ia pilih, dan jalan apa yang ingin ia tempuh. Fauzi hilang arah tanpa kehadiran wanita itu. Dalam gelapnya malam hari, ia berharap wanita itulah yang akan membimbing langkah kedua kakinya.
              Fauzi tau frekuensi kehidupannya dengan wanita itu tidak akan sama lagi. Wanita itu akan terus melangkah dengan kehidupan dunia medis dan segala kesibukannya. Sementara Fauzi, masih terpuruk dan teraniaya oleh rasa sakit yang mendalam. Hubungan mereka telah terputus akibat kelemahan dan keegoisan Fauzi. Meskipun begitu, Fauzi tidak bisa menyembunyikan bahwa ia dan nafasnya masih merindukan wanita itu.
            Bulan-bulan berlalu, Fauzi telah mampu membuka mata dan melihat dunia. Ia tidak ingin menyesali semua kejadian yang terjadi. Namun, ia menyadari masih ada kekosongan dalam hati. Ia berusaha mencari sesuatu yang mampu mengisi kekosongan itu, dan menemukan jawabannya dalam sanubari yang terdalam. Awalnya ia mengira hanya wanita itulah pelengkap kekosongan tersebut, tetapi ia memahami bahwa bukan itulah yang sedang terjadi. Oleh karenanya, ia tetap melanjutkan perjalanan panjang dalam pencarian itu, dan tidak ingin berhenti hingga Fauzi mengetahuinya.
            Setelah sekian lama, hati Fauzi semakin mengerti akan arti kehidupan. Fauzi telah menerima sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sebuah harapan dalam setitik iman. Demi sebuah cinta ataukah cita, ia memberanikan diri untuk beranjak dari kelamnya masa yang sirna. Telah ia dapati semua teman yang membimbingnya menuju cahaya. Untuk sebuah keteduhan hati, dan untuk bisa mengubur kedalaman emosi, Fauzi tidak ingin kehilangan arah lagi. Meskipun hanya sebuah harapan yang tidak mungkin berdalih, lembaran baru telah ia pilih. Meskipun di sela waktu, kadang ia terpuruk jatuh. Beban itu kian membawanya terbang menuju dunia yang penuh rasa dan suasana. Semua tentang wanita itu, semua tentang Fauzi, kini tinggal sejauh mimpi.
           Kenangan itu, hanya sebuah bentuk memori pertemuan. Kehampaan telah melahirkan nuansa kebebasan. Lama Fauzi terbaring dalam kabut awan, terdiam, juga tidak sadar akan pergantian siang dan malam. Lalu mentari menariknya, membangkitkannya untuk tetap berjalan ke depan. Sedangkan, sang Pencipta, Yang Memberikan Pelita telah membuat Fauzi menyanyi bersama hari, bermimpi dan berdo’a sepanjang malam. Keajaiban itu, teka-teki itu, telah membentuk dirinya, juga mendewasakan hidupnya. Maka ia tetap berdiri tegak, berjalan mantap menuju sebuah pilihan. Menyusuri tepian hidup dengan sandaran hati, Allah dan Rasul-Nya serta keluarganya.