About this blog..

Total Tayangan Halaman

Menu

6/19/2015

Seperti mesin waktu...

Agaknya lebih greget & berbeda, disaat semua orang mengucap maaf & ampun kuputuskan membuat sebuah tulisan. Sebuah tulisan sederhana, yang kubuat tiap awal ramadhan. Tujuannya tidak muluk2. Sekedar ingin mengingatkan siapa diri ini dan apa yang telah ia lakukan. Jika kita buka album lama, kita menatap sejumlah memori silam. Beberapa melekat dalam pikiran, jauh dalam lubuk hati. Yang memberi luka biasanya tidak dilihat berlama2. Bahkan, kadang kita ingin membuangnya jauh2. Nah, sama halnya dengan tulisan ini. Aku terkadang membuat tulisan agar kenanganku tidak hilang. Yah.. siapa tau suatu saat aku amnesia, atau demensia, tulisan ini kembali mengingatkan masa lampau. Seperti mesin waktu, “alat untuk kembali ke masa lalu adalah kenangan, sedangkan alat untuk menuju masa depan ialah impian” begitu kutipan dari sebuah film yang pernah kutonton.

Selain itu, aku bukanlah orang yang sering berfoto bersama dalam setiap event ataupun momen penting. Kadang bahkan, tidak terlalu suka. Terlalu alay menurutku bila berlebihan atau karena memang sengaja tak diajak -_-. Dalam tulisan ini sebetulnya aku cuma ingin melihat potret lamaku. Siapa tau masih ada kisah dibalik peristiwa, yang nantinya akan kutemukan jawabnya di masa depan. Jika kisahku membuat kawan2 terganggu, aku memohon maaf, akupun tidak bermaksud mengajari, atau berharap kisahku bisa menginspirasi, aku tidak mempunyai potensi untuk itu. Yang kuinginkan dalam membaca sebuah tulisan tidak lain adalah untuk menumbuhkan hasrat. Hasrat untuk berubah menjadi lebih baik tentunya.

Tahun lalu adalah tahun yang cukup berat bagiku. Seperti dalam tulisanku sebelumnya, jika kawan2 baca. Ayahku didiagnosis menderita kanker nasofaring dan diharuskan menjalani kemoterapi. Beberapa bulan menjalani pengobatan, dan sempat terkena stroke iskemik juga. Aku dan ibunda diharuskan untuk bertahan dari sedikit ujian harta, jiwa, dan ketakutan. Tak tahan rasanya menyaksikan ayahanda dan ibunda tercinta menderita. Maka aku mulai kehilangan arah, hidupku mulai gelap. Kutinggalkan semua rutinitasku: Organisasi, dakwah, ma’had, mengajar & belajar, aikido. Kufokuskan sisa2 waktuku untuk mengabdi kepada ayahanda dan ibunda. Aku tak bermaksud memuja2 diriku untuk pengorbanan itu. Karena memang itulah yang seharusnya dilakukan setiap anak untuk membalas jasa2 orangtuanya.

Alhamdulillah.. kami sekeluarga berhasil melewatinya. Segala puji bagi Allah yang telah menguatkan kami. Memberikan segala petunjuknya bagi kami. Sekarang kondisi ayah kembali optimal,  dan semoga saja tetap sehat selalu. Kankernya untuk sementara ini tidak metastasis, bahkan cenderung mengecil. Hipertensi dan DM tipe II Ibu pun sekarang sudah terkontrol dengan baik. Tekanan darah dan GDP nya sudah dalam kisaran normal. Mereka sudah mau cek up rutin ke laboratium, dan terakhir kali hasil labnya menunjukkan kimia Ginjal (Ureum - kreatinin), hati (SGOT - SGPT), GDP, dan kolesterol normal. Subhanallah, nampaknya ilmu kedokteran yang kupelajari betul2 bermanfaat. Setidaknya untuk menjaga keluargaku sendiri. Semoga Allah selalu menjaga ayahanda dan ibunda.

Aku sekarang berada di blok kedokteran komunitas. Beberapa blok lagi sebelum aku menjalani koass, insya Allah di bulan desember. Berada di blok ini membuatku mengenang masa2 ku di kesehatan masyarakat dulu. Ilmunya betul2 bermanfaat, bahkan aku menjadi menyukainya, membuatku berminat untuk S2 dijurusan itu. Namun, bukan cuma itu saja yang kudapat dulu. Saat di kesehatan masyarakat aku banyak belajar tentang kehidupan. Bagaimana menjalaninya & bertahan dengannya. Entahlah, mungkin saja aku memang ditakdirkan untuk itu.

Bertemu dengan para sahabat, adik2, tokoh2 luar biasa yang menginspirasi. Inspirasiku memang cukup unik, aku tak mendapat banyak dari tokoh2 hebat atau disebut2 “sukses” oleh kebanyakan orang. Bagiku orang2 terdekatlah yang bisa membuat kita belajar banyak, mendatangkan inspirasi tiada henti. Ketimbang motivator yang tak kita kenal, yang belum tentu mengamalkan motivasinya. Orang yang sudah memilih jalan hidupnya & berhasil bangkit dari keterpurukan adalah jiwa2 yang akan tegar menjalani pahitnya hidup ini  dan dari merekalah muncul generasi2 emas. Yang bangga dan tidak tunduk pada kekalahan. Serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan. Mereka tau, setiap diri mempunyai potensi masing2. Tidak semua hal bisa dipaksakan dalam satu tubuh, berusaha mengubah sesuatu yang sudah ditakdirkan hanya akan menumbuhkan kekecewaan. Mereka, tau itu.

Oh ya, aku juga sudah maju sidang dua hari yang lalu. Tinggal beberapa tahap lagi aku lulus sarjana. Kusadari ilmu kedokteranku masih belum seberapa, nampaknya masih banyak PR yang harus kukejar. Semoga saja kedepannya segala urusannya dimudahkan.

Urusan dakwah, kian meyakinkan bahwa inilah ketetapan Allah untukku. Berkali2 rasanya aku ingin berlari, ingin bebas, sebab tak kuat kutanggung beban urusan ini. Namun Allah selalu menarikku kembali, membantuku berdiri kuat dan tidak jatuh sedalam2nya. Mungkin saja, potensiku memang dibidang itu. Seperti yang kubilang di masa lalu. Cuma ada 2 hal yang membuat hidupku lebih berharga: dakwah & profesi dokter. Meskipun intensitasku tahun ini tak segiat dulu, Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk berbagi.

Oh ya, sekarang kupahami bahwa ada tiga tipe seorang da’i dalam berdakwah. Tipe 1: Ia berdakwah tujuannya cuma untuk eksistensi diri. Ia sekedar ingin membuktikan kemampuannya kepada sesamanya atau lawan jenisnya. Kadang bahkan cuma ingin mengejar popularitas, biar banyak yang suka dan dianggap mulia. Oleh karenanya, tipe seperti ini biasanya tak akan bertahan lama dalam urusan dakwah. Jiwanya labil, kekanak2an, dan tidak siap menanggung beban. Seleksi alam pasti akan menimpanya.

Tipe 2: Ia berdakwah karena merasa itulah tujuan hidup. Ia sangat bersemangat menyelaminya, karena ia merasa dakwah adalah bagian hidupnya. Tanpa dakwah, hidupnya sepi, tanpa dakwah jantungnya seakan berhenti. Makanya, ia serius belajar, ia serius memperbaiki diri. Tetapi masih ada hal yang kurang darinya. Ia tidak benar2 memikirkan umat, yang ia lakukan sebatas kepentingan diri, menunaikan kewajiban atau organisasi.

Tipe 3: Ia berdakwah karena umat, nuraninya murni & suci memikirkan kebaikan umat. Harta, jiwa, dan raga ia persembahkan untuk Islam, ikhlas dalam dakwah, istiqomah mengajari sesama. Aku sangat jarang bertemu tipe 3. Kebanyakan tipe 1 & 2. Bilapun ada yg berkoar2 rela berkorban untuk umat, atau berempati karenanya, mereka cuma sekedar mengatakan yang memang perlu dikatakan, bukan? buktinya, tak sedikitpun saat mereka berkata peduli, mereka berani berkorban dengan serius.  Ketahuilah, seseorang yg dipedulikan oleh sesamanya akan ikut merasakan kepedulian tersebut. Itu seperti ikatan batin yg sulit dijelaskan. Da’i tipe 3 memancarkan aura tersendiri. Benar2 karismatik.

Akan kusebut contohnya, K.H. Zaini Abdul Ghani, apa kamu kenal? Beliau menurutku da’i tipe 3 yg betul2 mempersembahkan hidupnya untuk umat. Saat kecil, aku bersama ayahanda setiap hari minggu sering ke pengajian beliau. Jama’ahnya bisa sampai ratusan bahkan ribuan, dan setiap kalinya para jama’ah tersebut pulang membawa makanan yg dibagi2 gratis waktu itu. Dan kamu tau dananya dari siapa? Dari beliau pribadi. Di akhir2 hidupnya, beliau menderita gagal ginjal, dan diharuskan menjalani hemodialisa yang rutin. Kita semua tau, seberapa sakit dan menderitanya pengguna hemodialisa. Seharusnya aktivitas beliau dikurangi dan mendapatkan istirahat yg cukup. Dan apa yg beliau lakukan? Tetap istiqomah melaksanakan pengajian, bahkan lebih giat lagi. Jadi sudah sewajarnya, kebanyakan rakyat banjar tak pernah lupa jasa2 beliau. Meski kadang berlebihan. Semua tau itu.

Urusan cinta, ah.. aku tak berani bicara banyak. Hanya khayalan rasa bukan? sebuah ungkapan ataupun frasa yg bahkan definisinya pun kita tak tau. Cuma pernikahan yg bisa membuktikannya. Bukan permainan “sayang2an” ala anak muda, juga “friendzone” nya ala mahasiswa. Tak serius, buang2 waktu, meninggalkan luka dan kebencian. Satu hal yg ingin kuungkapkan disini. Sebetulnya sudah lama ingin kutuliskan ini. -Aku selalu paham dengan kode2 itu-. Hanya saja, kubiarkan diriku berlagak tak mengerti. Berpura2 tak terjadi apa2, meski aku menyadarinya. Kupikir ada baiknya juga terlihat bodoh & polos. Membuat diri ini terjaga dan berhati2 dlm melangkah. Aku belum ingin menikah, mungkin akan lama, dan banyak pertimbangannya. Namun khitbah? itu tindakan seorang pengecut pikirku. Menggantungkan pilihan wanita yg belum tentu kita serius dengannya. Mengapa tidak kita biarkan saja Allah mempertontonkan kuasa-Nya. Bukankah akan lebih menarik jika Q.S An-Nur: 26 itu menjadi kisah tersendiri dalam hidup kita?

“Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifan, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita2 itupun agak kupersempit, kuputuskan utk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasil. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yg masih tersisa, kuputuskan utk mengubah keluargaku, org2 yg paling dekat denganku. Tetapi celakanya, mereka sudah tdk mau diubah. Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba2 kusadari. Andaikan yg pertama2 kuubah adl diriku. Maka dgn menjadikan diriku sbg anutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi & dorongan mereka, bs jd akupun mampu memperbaiki negeriku. Kemudian, siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia.” Begitu ungkapan favoritku dari buku “Playing God” karangannya Rully Roesli. Untuk sekaligus, sebagai penutup tulisan ini. Salah khilaf mohon maaf. Dariku yg penuh kekurangan dan penuh kefakiran.


Malam kamis, H-1 Ramadhan 1436 H.