SMA (Sekolah Menengah Atas), seingat Fauzi
umurnya saat itu menjelang 18 tahun. Bulan itu adalah bulan yang penuh berkah,
bulan yang selalu ditunggu-tunggu umat muslim. Bulan ketika Al-Qur’an dulu
diturunkan untuk insan yang terbaik akhlaknya dan malam seribu bulan dihadirkan
kepada orang-orang pilihan-Nya. Bulan dimana dosa-dosa manusia terampuni bila ia
sungguh bertaubat, dan semua amalan dijanjikan berlipat ganda nilainya. Maka
semua manusia berlomba-lomba untuk mengejarnya, tanpa terabaikan pula Fauzi. Ia
menantikannya dan sungguh merindukannya.
Sebuah
anugerah atau cobaan, di bulan itu cinta kembali hadir dan menyentuh selubung
hati Fauzi. Cinta yang seperti cahaya, ditulis dengan tangan cahaya,
terpatrikan diatas lembaran cahaya. Cahaya itu melenyapkan kabut memorinya tentang
keraguan hati. Tatkala banyak wanita yang dapat meminjam hati pria, Ia tidak
semurah itu. Hanya sedikit yang memilikinya, merekalah ibu dan keluarga terkasih
kebanggaan. Namun di bulan itu, seorang wanita merenggutnya. Membuat hidup dan
kesendirian Fauzi, penuh dengan ingatan. Sebuah ingatan tentang janji yang
terikat. Janji yang mampu membiaskan impian dan harapan. Berkali-kali ia bertahan
dan berusaha menjalaninya. Bahkan, bila ketidakberdayaan menghampiri, ia
mencoba melawannya sepenuh hati.
Ramadhan,
kira-kira awal Oktober tahun 2010. Beberapa bulan setelah itu adalah akhir dari
semester ganjil. Semester depannya merupakan tantangan yang paling mendebarkan
dikalangan siswa SMA. Fauzi akan menghadapi ujian nasional dan ujian tulis
penentu masa depan bangku perkuliahan, SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri). Sebelum akhir pekannya akan dipenuhi dengan “penganiayaan”,
alias pengayaan belajar. Sebelum masa depannya akan dipertaruhkan dengan kerja
keras dan do’a. Sebelum masa-masa itu, ia dan kawan-kawan rohis SMA-nya
menghabiskan akhir bulan Ramadhan kali itu dengan kegiatan yang menarik dan
penuh berkah. Tersebutlah “Pesantren Ramadhan Nasional”, momentum pertemuan Fauzi
dengan wanita itu.
Pesantren
Ramadhan nasional adalah pesantren yang diadakan oleh Kementerian Agama
Republik Indonesia tingkat pusat. Pesantren tersebut menghadirkan seluruh siswa
yang terdaftar sebagai organisasi kerohanian Islam dari seluruh provinsi.
Kebetulan saat itu sekolah Fauzi termasuk sekolah yang terpilih untuk mewakili
Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan, siswa rohis yang diminta untuk
mengikuti kegiatan tersebut adalah siswa yang menjabat sebagai badan inti
organisasi. Itulah ia, Razi, dan teman perempuannya (rohis akhwat).
Penginapan
mereka bertempat di salah satu asrama kampus Universitas Islam Negeri Malang.
Kamar laki-laki dan perempuan letaknya terpisah. Waktu itu Fauzi sekamar dengan
Razi, dan dua orang siswa asal Banjarbaru. Mereka pun saling berkenalan, bercengkrama
dan bercerita tentang kesibukan sekolah juga kesehariannya. Layaknya anak
burung yang baru lepas bebas menyaksikan keindahan langit dan ladang,
percakapan hangat telah membuat mereka seolah terbang lapang dan menciptakan
dekapan rasa kasih, persahabatan, dan angan-angan. Hanya dalam satu malam,
pertemanan mereka berempat menjadi begitu dekat.
Kegiatan para santri layaknya pada
pesantren Ramadhan umumnya. Mereka semua diminta mengikuti seluruh rangkaian
acara dari sahur bersama, shalat wajib berjama’ah, shalat tarawih, tadarus
Al-Qur’an, diskusi kelompok, seminar, hingga kunjungan lapangan. Buka puasa
bersama termasuk hal yang paling ditunggu oleh semua santri. Suasana
kebersamaan yang menghebohkan dan sajian makanannya yang berlimpah. Itu adalah pemuas dahaga
paling nikmat dipuncak kelelahan dan hadiah kebaikan sunnah untuk puasa di
bulan Ramadhan.
Fauzi
adalah orang yang paling mengingat momen itu. Tepat saat waktu maghrib tiba, para
santri bergegas menuju mushola. Di lorong jalan, matanya melirik ke arah dua
orang yang
berbincang pelan. Mata Fauzi yang rabun jauh membuatnya samar-samar terlihat.
Satu
detik selanjutnya, mereka berpapasan. Ia
lihat wajah seorang wanita yang bersinar, dan terlahirlah perasaan yang membuat
sanubari bergetar. Raut wajah dan kecantikan paras wanita itu benar-benar membuatnya
jatuh dalam lamunan.
Wanita
itu layaknya surya yang menuntun bayang-bayang pepohonan. Menyinari gelapnya
pikiran Fauzi tentang wanita zaman sekarang. Seakan tidak percaya bila ada
wanita seperti itu, ia dengan jilbab syar’inya membekukan langkah kaki Fauzi.
Maka terbuktilah pepatah lama, “dari mata turun ke hati”. Dua insan telah dipertemukan
untuk menemukan kebenaran tentang sudut lain dunia. Seseorang tidak bisa
berucap, tetapi wanita itu memahaminya. Ia membalas Fauzi dengan senyuman. Sebentuk
usapan kepada jiwa yang kosong. Sangat teduh, bahkan awan tidak seteduh
tatapannya detik itu.
Dalam
sunyi, Fauzi mencoba bersuara lirih, “Assalamu’alaikum...”. Lalu wanita itu
dengan lembut membalasnya, “Wa’alaikumussalam, dari Banjarmasin ya?”. “Eh, i..iya,
dari Banjarmasin, kenapa?” ucap Fauzi kikuk. “Saya dari banjarbaru...” ungkapnya.
Lalu wanita itu pergi dengan tawa yang manis bersama temannya. Fauzi tidak
sempat mengucapkan beberapa patah kata lagi. Namun saat itu, jiwanya memahami
arti dari frasa yang orang ucapkan selama ini, “lingkaran hati”. Sebuah siklus
pertemuan rasa, bahkan tanpa harus mengungkapnya, ataupun mengenalnya. Fauzi tidak
tau bagaimana mengatakannya. Meskipun ia memahami rasa itu, ia tidak akan mampu
menggapai maknanya. Selamanya akan samar terbungkus oleh kata dan tidak akan
bisa tertera dengan pena.
Hal
yang pertama kali dilakukan saat seseorang dalam suasana hati seperti itu
tentulah mencari informasi yang akurat. Rasa penasaran menyelimuti benak
pikirannya. Fauzi pun memberanikan diri untuk bertanya tentang wanita itu
kepada santri lain, tentang nama lengkapnya, sekolahnya, dan dimana ia tinggal.
Hingga tercukupilah segala hasrat dalam diri Fauzi setelah mengetahui dimana
wanita itu berada. Sebuah SMA di kota Banjarbaru. SMA yang terkenal dengan
nuansa agamanya, asramanya, biayanya yang cukup tinggi, dan betapa bahagianya
dirinya saat mengetahui bahwa wanita itu masih “jomblo”.
Rangkaian
kegiatan pesantren Ramadhan terus berlanjut, seminar dan diskusi akbar yang
bertemakan isu-isu keislaman termasuk dalam susunan acaranya. Di dalam
auditorium, seluruh santri diminta untuk berdiskusi dan memaparkan hasil
diskusinya. Saat itu, keheningan berubah menjadi suasana menakjubkan. Disaat seluruh
santri mencoba untuk unjuk diri, wanita itu kembali muncul dengan indahnya.
Kehadirannya sanggup mematahkan segala kesombongan santri lain. Dibalik
keanggunannya, wanita itu sungguh cerdas. Ia dengan kemampuan bahasa Arabnya,
tidak disangka membuat seluruh lelaki di auditorium tidak akan bisa memejamkan
mata, sungguh memesona.
Fauzi tau bahwa dirinya bukanlah
satu-satunya pria yang menyukai wanita itu, dan benarlah kekhawatiran Fauzi dikala
mengetahui kawan karibnya sendiri juga menyimpan rasa terhadap wanita itu. Kawan
yang juga ikut andil dalam pertemuan rohis se-Indonesia itu. Maka dalam
kesempatannya pula, pria yang akrab disapa Razi itu, mengeluarkan kemampuan
diskusinya. Razi berdiskusi dengan wanita itu dengan penuh tawa, di hadapan
seluruh penonton, dengan kemampuan bahasa Arab yang mereka miliki.
Razi,
kawan yang sebangku dengan Fauzi di kelas II SMA. Ia seorang siswa yang Fauzi
acungi jempol dalam hal pengetahuan agama. Meski dalam nilai pelajaran, ia
kalah bersaing dengan Fauzi. Bila membahas persoalan agama, Fauzi begitu
menghormatinya. Maka layaknya Ali radhiyallaahu
’anhu, sahabat Rasulullah SAW yang mengalah memperjuangkan hati Fatimah
disaat Abu Bakar Ash-Shiddiq mempersuntingnya,
Fauzi pun ingin demikian. Ia lebih memilih memendam rasa dan mempersilakan.
Memilih untuk berdiri tegar, ketimbang memutus tali persahabatan. Terpikir olehnya
saat itu, “Allah menjagaku rupanya..”. Sehingga berlalulah masa-masa itu, Razi
dan wanita itu semakin dekat. Sedangkan Fauzi kian menjauh dari kenyataan, tersudutkan
dalam dunia khayalan. Mencoba terbangun dari mimpi buruk yang sangatlah sulit
untuk dilupakan.
Selang
beberapa bulan, wanita itu menyapa Fauzi lewat pesan media sosial. Ia tersenyum
sejenak, karena jauh dilubuk hatinya, masih terukir nama wanita itu. Ia
menanyakan kabar Fauzi, bagaimana keadaannya, dan suasana sekolah yang
mendekati ujian. Meski beberapa lama wanita itu menghilang keberadaannya, saat
itu, Fauzi merasakan kehadirannya. Percakapan kedua insan ini kian memanjang,
bahkan dalam dunia fatamorgana, pertemuan hati yang lama tidak berjumpa akan
selalu menyenangkan. Fauzi mencari cara untuk menanyakan hubungan wanita itu
dengan Razi. Lalu, lenyaplah kemelut jiwanya waktu wanita itu menuliskan, “Kami
gak ada apa-apa, cuma temenan :)..”.
Dalam
hidup setiap anak muda, tentulah akan muncul cinta hakikinya, yang akan membawa
hari-harinya kedalam musim semi penuh warna. Dalam relung pikiran Fauzi, ada
banyak memori yang membekas tentang sosok wanita itu. Keindahan matanya, harum
nafasnya, lembut tutur katanya, menunjukkan kepada diri Fauzi bahwa inilah
bentuk keajaiban ciptaan. Kepribadiannya seperti mampu mengubah dunia yang
begitu hampa. Karena dirinya, Fauzi telah memahami sebuah bentuk kerinduan. Bukanlah
cantiknya yang Fauzi nanti, bukan pula senyumannya yang meluluhkan hati, tetapi
ketulusan hatinya yang begitu memberi arti.
Hari itu, Fauzi tidak akan pernah
melupakannya. Hari dimana kedua jiwa disatukan dalam ikatan janji. Fauzi dan
wanita itu sama-sama diam menunggu yang lain untuk berbicara. Namun, bicara
bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengerti. Bukan hanya kata-kata yang
keluar dari bibir dan lidah yang bisa menyatukan nurani. Keheningan menerangi
jiwa mereka, bersama tiupan daun yang mengalir lembut, membawa ungkapan kata terasa
diujung mata. Fauzi memberanikan diri dan bertanya, “Kalau sudah lulus SMA,
kamu mau melanjutkan kemana?”
Wanita itu menghadap ke langit, lalu ia
bilang, “Aku tidak tau zi, selama ini kubiarkan hidupku mengalir seperti air,
biarlah takdir membawa asa dan citaku dalam pilihan yang terbaik, kalau kamu mau
kemana?”. Fauzi terdiam sejenak. Kata-kata yang diucapkan wanita itu telah
memenjarakan angannya ditengah masa lalu dan masa depan. Seperti sebuah kapal
yang menempatkan jangkarnya di tengah lautan. Kata-kata itu membangunkan tidur keremajaan
Fauzi, dan menempatkan posisinya kelak di panggung dunia yang penuh pilihan.
Fauzi
tau bahwa wanita itu punya banyak talenta, meskipun ragu, Fauzi ingin membuat
wanita itu tidak bias terhadap harapan. Fauzi berkata, “Jika seperti itu, kamu
akan bimbang dengan cita-citamu, kamu harus memilih, seperti aku, aku punya
keinginan untuk menjadi dokter”. Wanita itu tersenyum, “Begitukah? kalau gitu,
aku juga mau jadi dokter, hihihi…” ucapnya lembut. “Loh, kok bisa? cepet banget
mutusinnya?” Fauzi menertawakan kepolosan wanita itu. Meski begitu polos, ia benar-benar
menyukai wanita itu. Tidak pernah sedikitpun ia menyombongkan diri di hadapan
Fauzi. Untuk seseorang yang dipenuhi banyak talenta, Fauzi bukanlah apa-apa
dibanding dirinya.
Dua
bulan berlalu, ujian nasional SMA begitu menegangkan, tidak sedikitpun Fauzi bergeming
dalam kerja keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik dengan jujur dan tawakkal
kepada Allah SWT. Lama tidak terhubung, wanita itu mengabarkan berita dengan
penuh gembira. Ia berkata kepada Fauzi, bahwa ia mendapat beasiswa dari
Departemen Agama kota Banjarbaru untuk kuliah pendidikan dokter di salah satu
universitas negeri pulau Jawa. “Aku pasti menyusulmu..” ucap Fauzi yakin. Hari
itu, Fauzi berjanji dengan dirinya sendiri dan wanita itu bahwa ia akan lulus SNMPTN.
Lalu, menggapai harapannya, untuk menjadi dokter.
11
Mei 2011, Fauzi mengikuti seleksi tahap awal dalam SNMPTN. Pada lembaran
kertasnya tertulis pilihan universitas yang ingin dimasuki. Dengan hikmatnya, Fauzi
centang Fakultas Kedokteran di universitas wanita itu berada. Program Studi
Pendidikan Dokter, Universitas Lambung Mangkurat di pilihan kedua, dan Program
Studi Kesehatan Masyarakat di pilihan ketiga. Ujian pun berlangsung sangat ketat.
Fokusnya tiada teralihkan meski harus berhadapan dengan ribuan pesaing lain.
30
Juni 2011, tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Pengumuman hasil seleksi SNMPTN
diberitahukan sore harinya lewat website
dan media massa. Hari itu, hari yang kejam untuk seorang pemimpi seperti Fauzi.
Ia harus menerima kenyataan bahwa harapan dan angannya telah sirna. Fauzi tidak
mampu melihat apapun selain ruang kosong yang hampa dan tidak mendengar apapun
kecuali teriakan kidung derita. Ketika mimpi-mimpi yang begitu indah telah terpenjara,
kesedihan mulai datang menghampirinya.
Kesedihan
yang mengganjal hati Fauzi semakin dalam seiring bergulirnya hari. Kesedihan
itu datang bukan karena ia tidak memperoleh hiburan. Jika karena itu, tentulah ia
sangat mudah mendapatkannya. Kesedihan itu juga bukan lantaran ia kesepian, karena
ia masih memiliki orang tua dan teman. Kesedihan itu disebabkan oleh suatu
keputusasaan karena tidak mampu memenuhi permintaan dan janji. Keputusasaan yang
membuat dirinya lari dari keramaian dan hiburan. Keputusasaan yang membuat diri
Fauzi menghindari wanita itu dan keberadaannya. Keputusasaan itu kian
menenggelamkan hari-harinya dalam samudera lautan yang suram. Lalu, berharap
ada yang menolongnya untuk menemukan sebuah jalan keluar, dan membuatnya terlahir
kembali dengan jiwa yang tegar.
Menghadapi
masa kelam, andaikan wanita itu datang menemani, mungkin kesedihannya tidak
akan berarti. Saat itu, Fauzi tidak tau kebenaran apa yang akan ia pilih, dan
jalan apa yang ingin ia tempuh. Fauzi hilang arah tanpa kehadiran wanita itu.
Dalam gelapnya malam hari, ia berharap wanita itulah yang akan membimbing
langkah kedua kakinya.
Fauzi tau frekuensi kehidupannya dengan
wanita itu tidak akan sama lagi. Wanita itu akan terus melangkah dengan
kehidupan dunia medis dan segala kesibukannya. Sementara Fauzi, masih terpuruk
dan teraniaya oleh rasa sakit yang mendalam. Hubungan mereka telah terputus
akibat kelemahan dan keegoisan Fauzi. Meskipun begitu, Fauzi tidak bisa
menyembunyikan bahwa ia dan nafasnya masih merindukan wanita itu.
Bulan-bulan
berlalu, Fauzi telah mampu membuka mata dan melihat dunia. Ia tidak ingin
menyesali semua kejadian yang terjadi. Namun, ia menyadari masih ada kekosongan
dalam hati. Ia berusaha mencari sesuatu yang mampu mengisi kekosongan itu, dan menemukan
jawabannya dalam sanubari yang terdalam. Awalnya ia mengira hanya wanita itulah
pelengkap kekosongan tersebut, tetapi ia memahami bahwa bukan itulah yang sedang
terjadi. Oleh karenanya, ia tetap melanjutkan perjalanan panjang dalam pencarian
itu, dan tidak ingin berhenti hingga Fauzi mengetahuinya.
Setelah sekian lama, hati Fauzi semakin
mengerti akan arti kehidupan. Fauzi telah menerima sebuah anugerah dari Yang
Maha Kuasa. Sebuah harapan dalam setitik iman. Demi sebuah cinta ataukah cita, ia
memberanikan diri untuk beranjak dari kelamnya masa yang sirna. Telah ia dapati
semua teman yang membimbingnya menuju cahaya. Untuk sebuah keteduhan hati, dan untuk
bisa mengubur kedalaman emosi, Fauzi tidak ingin kehilangan arah lagi. Meskipun
hanya sebuah harapan yang tidak mungkin berdalih, lembaran baru telah ia pilih.
Meskipun di sela waktu, kadang ia terpuruk jatuh. Beban itu kian membawanya
terbang menuju dunia yang penuh rasa dan suasana. Semua tentang wanita itu,
semua tentang Fauzi, kini tinggal sejauh mimpi.
Kenangan
itu, hanya sebuah bentuk memori pertemuan. Kehampaan telah melahirkan nuansa kebebasan.
Lama Fauzi terbaring dalam kabut awan, terdiam, juga tidak sadar akan
pergantian siang dan malam. Lalu mentari menariknya, membangkitkannya untuk
tetap berjalan ke depan. Sedangkan, sang Pencipta, Yang Memberikan Pelita telah
membuat Fauzi menyanyi bersama hari, bermimpi dan berdo’a sepanjang malam.
Keajaiban itu, teka-teki itu, telah membentuk dirinya, juga mendewasakan
hidupnya. Maka ia tetap berdiri tegak, berjalan mantap menuju sebuah pilihan.
Menyusuri tepian hidup dengan sandaran hati, Allah dan Rasul-Nya serta keluarganya.